Posted by : Unknown
Jumat, 30 Agustus 2013
Dipublikasikan Oleh: jumhur |Pada Dec 28, 2011 |Di VOLUME IV-1
Anis Malik Thoha
- Seiring dengan maraknya proses liberalisasi sosial politik yang
menandai lahirnnya tatanan dunia abad modern, dan disusul dengan
liberalisasi atau globalisasi (baca: penjajahan model baru) ekonomi,
wilayah agama pun, pada gilirannya, dipaksa harus membuka-diri untuk
diliberalisasikan.
Agama, yang semenjak era revormasi
gereja abad ke-15 wilayah jurisdiksinya telah diredusir, dimarjinalkan
dan didomestikasikan sedemikian rupa, yang hanya boleh beroperasi di
sisi kehidupan manusia yang paling privat, ternyata masih dianggap tidak
cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia
baru yang harmoni, demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan dan HAM seperti toleransi, kebebasan, persamaan dan
pluralisme. Seakan-akan semua agama secara general adalah musuh
demokrasi, kemanusiaan dan HAM. Sehingga agama harus
mendekonstruksikan-diri (atau didekonstruksikan secara paksa) agar,
menurut bahasa kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks
dan tradisi yang jumud serta sudah tak sesuai lagi dengan zeitgeist atau semangat zaman.
Jika proses liberalisasi sosial politik
di Barat telah melahirkan suatu tatanan politik yang pluralistik yang
dikenal dengan “pluralisme politik”, maka liberalisasi agama yang
dimaksudkan untuk memfasilitasinya harus bermuara pada terciptanya suatu
tatanan sosial yang menempatkan semua agama pada posisi yang sama dan
sederajat, “sama benarnya dan sama relatifnya” atau yang sekarang lebih
dikenal dengan “pluralisme agama”.
Oleh karena paham liberalisme pada
awalnya muncul sebagai madzhab sosial politis, maka wacana pluralisme
yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama, juga lebih
kental dengan nuansa dan aroma politik. Maka tidaklah aneh jika kemudian
gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan
“pluralisme politik” (political pluralism), yang adalah produk dari “liberalisme politik” (political liberalism).
Jelas, faham “liberalisme” tidak lebih merupakan respons politis
terhadap kondisi sosial masyarakat Kristen Eropa yang plural dengan
keragaman sekte, kelompok dan mazhab. Namun kondisi pluralistik semacan
ini masih senantiasa terbatas dalam masyarakat Kristen Eropa untuk
sekian lama, baru kemudian pada abad kedua puluh berkembang hingga
mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.
Meskipun hembusan angin pluralisme telah
mulai merebak dan mewarnai pemikiran Eropa khususnya, dan Barat secara
umum, pada saat itu, namun masih belum secara kuat mengakar dalam kultur
masyarakatnya. Beberapa sekte Kristen ternyata masih mengalami
perlakuan dikriminatif dari gereja, sebagaimana yang dialami sekte
Mormon, misalnya, yang tetap tidak diakui oleh gereja karena dianggap
gerakan heterodox, sampai akhir abad kesembilan belas ketika muncul
protes keras dari presiden Amerika Serikat Grover Cleveland (1837-1908).
Begitu juga, doktrin “di luar gereja tidak ada keselamatan ” (Extra ecclesiam nulla salus) juga
tetap dipegang teguh oleh Gereja Katolik, hingga dilangsungkannya
Konsili Vatikan II (Vatican Council II) pada awal-awal enampuluhan abad
kedua puluh yang mendeklarasikan doktrin keselamatan umum, bahkan bagi
agama-agama selain Kristen.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
gagasan pluralisme agama sebenarnya merupakan upaya peletakan landasan
teoritis dalam teologi Kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan
agama lain. Pada dataran ini, gagasan pluralisme agama bisa dilihat
sebagai salah satu elemen gerakan reformasi pemikiran agama atau
liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abad
kesembilan belas, dalam gerakan yang kemudian dikenal dengan “Liberal
Protestantism” yang dipelopori Friedrich Schleiermacher.
***
ETC
sumber : http://tsaqafah.isid.gontor.ac.id