Posted by : Unknown Jumat, 30 Agustus 2013

Anis Malik Thoha - Seiring dengan maraknya proses liberalisasi sosial politik yang menandai lahirnnya tatanan dunia abad modern, dan disusul dengan liberalisasi atau globalisasi (baca: penjajahan model baru) ekonomi, wilayah agama pun, pada gilirannya, dipaksa harus membuka-diri untuk diliberalisasikan.
Agama, yang semenjak era revormasi gereja abad ke-15 wilayah jurisdiksinya telah diredusir, dimarjinalkan dan didomestikasikan sedemikian rupa, yang hanya boleh beroperasi di sisi kehidupan manusia yang paling privat, ternyata masih dianggap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM seperti toleransi, kebebasan, persamaan dan pluralisme. Seakan-akan semua agama secara general adalah musuh demokrasi, kemanusiaan dan HAM. Sehingga agama harus mendekonstruksikan-diri (atau didekonstruksikan secara paksa) agar, menurut bahasa kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumud serta sudah tak sesuai lagi dengan zeitgeist atau semangat zaman.
Jika proses liberalisasi sosial politik di Barat telah melahirkan suatu tatanan politik yang pluralistik yang dikenal dengan “pluralisme politik”, maka liberalisasi agama yang dimaksudkan untuk memfasilitasinya harus bermuara pada terciptanya suatu tatanan sosial yang menempatkan semua agama pada posisi yang sama dan sederajat, “sama benarnya dan sama relatifnya” atau yang sekarang lebih dikenal dengan “pluralisme agama”.
Oleh karena paham liberalisme pada awalnya muncul sebagai madzhab sosial politis, maka wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama, juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik. Maka tidaklah aneh jika kemudian gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan “pluralisme politik” (political pluralism), yang adalah produk dari “liberalisme politik” (political liberalism). Jelas, faham “liberalisme” tidak lebih merupakan respons politis terhadap kondisi sosial masyarakat Kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok dan mazhab. Namun kondisi pluralistik semacan ini masih senantiasa terbatas dalam masyarakat Kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada abad kedua puluh berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.
Meskipun hembusan angin pluralisme telah mulai merebak dan mewarnai pemikiran Eropa khususnya, dan Barat secara umum, pada saat itu, namun masih belum secara kuat mengakar dalam kultur masyarakatnya. Beberapa sekte Kristen ternyata masih mengalami perlakuan dikriminatif dari gereja, sebagaimana yang dialami sekte Mormon, misalnya, yang tetap tidak diakui oleh gereja karena dianggap gerakan heterodox, sampai akhir abad kesembilan belas ketika muncul protes keras dari presiden Amerika Serikat Grover Cleveland (1837-1908). Begitu juga, doktrin “di luar gereja tidak ada keselamatan ” (Extra ecclesiam nulla salus) juga tetap dipegang teguh oleh Gereja Katolik, hingga dilangsungkannya Konsili Vatikan II (Vatican Council II) pada awal-awal enampuluhan abad kedua puluh yang mendeklarasikan doktrin keselamatan umum, bahkan bagi agama-agama selain Kristen.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gagasan pluralisme agama sebenarnya merupakan upaya peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain. Pada dataran ini, gagasan pluralisme agama bisa dilihat sebagai salah satu elemen gerakan reformasi pemikiran agama atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abad kesembilan belas, dalam gerakan yang kemudian dikenal dengan “Liberal Protestantism” yang dipelopori Friedrich Schleiermacher.
***
ETC

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Popular Post

Blogger templates

Pengikut

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

- Copyright © Kemprit (Kumpulan Entri Inspiratif) -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -