Archive for Agustus 2013

Rancunya Wacana Agama Samawi

Sabtu, 31 Agustus 2013
Posted by Unknown
Tag :
Hidayatullah.com - Kholily Hasib - Sudah lama beredar pemahaman di sebagian umat Islam, bahwa agama Yahudi dan Kristen termasuk agama samawi. Beberapa buku pelajaran Pendidikan Agama Islam untuk sekolah menengah bahkan ada yang mengajarkan hal demikian. Kaum pluralis beralasan  mereka termasuk agama samawi, sebab Yahudi-Kristen memiliki akar yang sama dengan Islam. Sehingga perbedaan antara Islam dan Yahudi-Kristen adalah seperti perbedaan furu’iyah.
Perbedaan tajam ritual keagamaan di antara mereka itu bukanlah persoalan fundamental, sebab secara konseptual, teologi ketiga agama semitik ini, menurut mereka, adalah sama, yakni sama-sama bersumber dari ajaran Nabi Ibrahim.

Inilah inti dari teori the abrahamic faiths yang saat ini diwacanakan dan dikembangkan kaum Liberal untuk menjustifikasi bahwa agama Yahudi, Kristen, dan Islam secara teologis tidak ada masalah.

Plural Liberal

Sudah maklum dalam dunia pemikiran bahwa salah satu doktrin utama gerakan liberalisasi keagamaan adalah paham pluralisme. Untuk menjustifikasi paham ini, salah satu cara yang ditempuh kaum pluralis adalah dengan mewacanakan secara global istilah abrahamic faiths.

Bagi sebagian orang, istilah ini kedengarannya baru. Namun sebenarnya, term ini di kalangan pemerhati pemikiran sudah populer sejak tahun tujuh puluhan. Yakni, ketika Akademi Agama-Agama Amerika mengadakan konferensi yang dihadiri tokoh-tokoh besar dunia dari agama Yahudi, Kristen, dan Islam di New York pada 1979. Sejak itulah, term ini terus diwacanakan.

Di Indonesia, teori abrahamic faiths telah menjadi konsumsi oleh kelompok-kelompok mahasiswa Islam. Di sebuah perguruan tinggi Islam ternama di Yogjakarta misalnya, terdapat komunitas tersebut. Mereka biasanya menggunakan lambang agama Bintang David, Salib dan Bulan Sabit dalam satu kesatuan simbol abrahamic faiths.

Simbol itu memberi makna bahwa ketiga agama tersebut bersaudara, karena berasal dari akar yang sama, yakni Nabi Ibrahim. Karena sama, maka bagi penikmat teori ini, berpindah-pindah agama dari satu ke yang lainnya tidak masalah.

Teori abrahamic faiths ini mendasarkan pada dua asumsi. Pertama, asumsi historis (kesejarahan) dan kedua, asumsi teologis (ketuhanan). Secara historis, agama Yahudi, Kristen, dan Islam, bermuara kepada sosok Nabi Ibrahim. Karena, dari anak-anak Nabi Ibrahim inilah agama-agama tersebut lahir. Nabi Ishak, anak Nabi Ibrahim menurunkan bani Israel. Dari nabi-nabi keturunan bani Israel inilah melahirkan agama Yahudi dan Kristen. Sedangkan agama Islam, dibawa oleh Nabi Muhammad jalur nasabnya bersambung kepada anak Nabi Ibrahim yang bernama Nabi Isma’il.

Sedangkan secara teologis, mereka berasumsi bahwa oknum Tuhan ketiga agama Yahudi, Kristen, dan Islam adalah sama – meskipun terdapat perbedaan penyebutan Tuhannya. Tuhan Yahweh (Tuhan agama Yahudi), Yesus (Kristen), dan Allah (Islam), adalah tuhan-tuhan yang disembah oleh Nabi Ibrahim.

Asumsi-asumsi tersebut tentunya tidaklah benar dan rancu. Nabi Musa serta nabi-nabi dari bani Israel lainnya tidak pernah menyebut agama dengan nama Yahudi. Jika Yahudi adalah nama bangsa dari kaum bani Israel, maka ini tidaklah salah. Yang salah adalah agama para nabi tersebut disebut dengan agama Yahudi. Begitu pula Nabi Isa, selama hidupnya tidak mengenalkan kepada kaumnya bahwa agama yang dibawa adalah agama Kristen.

Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran surat al-Anbiya’: 25 bahwa agama yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul pada dasarnya adalah satu. Allah tidak pernah menurunkan dua atau tiga agama berbeda. Dan Allah tidak memaksudkan keterputusan total atau penggantian agama-Nya dengan kedatangan nabi-nabi baru.

Agama para nabi itu oleh Al-Quran disebut agama Tauhid, din al-Fitrah, atau din al-Qayyim. Secara esensial nama-nama tersebut menandakan nama Islam. Sebab antara din al-fitrah atau din al-Qayyim dengan agama Islam itu esensinya mengajarkan tiga hal pokok, yaitu mengajak menyembah kepada Allah tanpa menyekutukannya, menegaskan kebenaran yang telah diajarkan oleh para nabi terdahulu, serta menegaskan kebenaran final ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Al-Quran bahkan menyebut Nabi Ibrahim, Nabi Yunus, dan nabi-nabi bani Israel lainnya dengan sebutan Muslim (lihat QS. Yunus 71-72 ,Yunus: 84, Ali Imran: 67, al-Naml: 44, dan Ali Imran: 52). Maka, meskipun Allah tidak memberi nama agama para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW itu dengan nama Islam, tapi Ibnu Taimiyah dalam al-Jawab al-Shahih liman Baddala din al-Masih menyebut agama para nabi tersebut dengan al-Islam al-‘aam. Esensi doktrin teologinya sama, namun yang  berbeda adalah syari’ah – yang kemudian disempurnakan oleh agama Islam.

Bukan agama samawi


Agama Yahudi dan Kristen tidaklah dikenal oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad. Dua agama tersebut bukanlah samawi, akan tetapi bisa disebut agama budaya. Doktrin utama agama Yahudi saat ini, menurut Prof. Dr. Muhammad al-Syarqawi, peneliti dan pakar kitab Talmud dari Universitas Kairo, bermula saat  setelah ditulis kitab Torakh (Perjanjian Lama) dan Talmud oleh para murid nabi Musa dan orang-orang setelahnya.

Menurut as-Syarqawi, ajaran-ajaran agama Yahudi banyak yang bersumber dari Talmud yang bermuatan ajaran-ajaran pagan, rasialis, dan penuh hinaan kepada umat-umat lain. Bahkan seorang pemuka Yahudi, Rabi Rotski, mengakui bahwa kitab Talmud itu tidak ditulis oleh Nabi Musa, akan tetapi oleh para rabi-rabi Yahudi (lihat kitab Israil al-Aswad karya Muhammad al-Syarqawi).

Dzat Tuhan Yahweh (Tuhan agama Yahudi) tidak mungkin disamakan dengan Tuhan Allah. Ahmad Syalabi, pakar perbandingan agama, mengatakan bahwa tradisi penyembahan agama Yahudi dipengaruhi oleh bangsa Kan’an – yaitu bangsa yang dahulu mendiami wilayah Palestina. Nama Yahweh, menurut beberapa pakar sejarah Barat sendiri adalah nama yang berasal dari luar tradisi Yudaisme. Nama itu konon, berasal dari tradisi paganisme kaum Median dan Kan’an – yakni bangsa penyembah berhala sebelum kedatangan Nabi Musa.

Ketika mendiami wilayah mereka, bangsa Israel banyak meniru tradisi budaya bangsa Median, termasuk tradisi keagamaannya. Para pakar lainnya, seperti Harold Bloom, Freedman, dan Abbas Mahmud al-Aqqad mengamini bahwa nama Yahweh adalah misteri, bersifat dugaan, dan tidak diketahui secara pasti apakah itu nama Tuhan Nabi Musa atau tidak.

Ada yang menyebut, berasal dari bahasa Arab Ya Hu (wahai Dia). Pendapat ini pun belum bisa diverifikasi secara ilmiah. Karena tidak jelas, maka orang-orang Yahudi menulis Yahweh dengan simbol YHWH – yang bermakna nama itu tidak pernah diucapkan dengan jelas dalam tradisi peribadatan Yahudi. Dengan demikian, sebenarnya Yahweh itu bukanlah Allah, dan ini berarti pula bahwa monoteisme Yahudi berbeda dengan monoteisme Islam.


Sedangkan Kristen, adalah sebuah nama yang dideklarasikan oleh Paulusus di kota Antiokhia (sekarang wilayah Turki) – Nabi Isa tidak pernah mengenalkan nama Kristos atau menyebut dirinya anak Tuhan. Kristen adalah agama yang bangunan dasar teologinya didirikan oleh Paulusus, seorang Yahudi yang mengaku-ngaku Rasul. Tepatnya sekitar enampuluh tahunan setelah keghaiban Nabi Isa, terjadi penyimpangan, hingga datanglah Paus yang memberi nama pengikutnya dengan nama Kristen.

Oleh karena itu Kristen adalah agama budaya, bukan agama samawi. Sehingga wajar bila pondasi teologinya selalu berkembang bermetamorfosis. Seperti konsep trinitas yang disahkan melalui konsili Nicea, tidak melalui wahyu. Sehingga sarjana-sarjana Barat sendiri mengakui akan hal itu. Michael H. Hart, asal AS mengatakan bahwa yang mendirikan Kristen itu bukanlah Yesus, tapi Paulusus.

Hart berpendapat demikian karena dia yakin bahwa Pauluslah yang menciptakan konsep trinitas – yaitu konsep yang sangat bertentangan dengan konsep monoteisme yang diajarkan Nabi Isa. Huston Smith dalam The Religions of Man juga menyimpulkan hal yang sama, bahwa Kristen adalah agama budaya.

Dengan demikian, klaim bahwa agama Yahudi dan Kristen bersumber dari Yahudi adakah tidak betul. Secara ideologis, sangat jauh berbeda dengan teologinya Nabi Ibrahim yang berkonsep Tauhid. Maka, Islam tidak bisa disejajarkan dengan Yahudi-Kristen sebagai satu kelompok agama abrahamic.

Islamlah satu-satunya pewaris millah Ibrahim dan satu-satunya agama samawi. Penggunaan term abrahamic faiths tidaklah tepat ditujukan kepada ketiga agama. Karena, agama Nabi Ibrahim dan nabi-nabi lainnya cuma satu, yaitu agama tauhid. Wallahu a’lam bisshawab

*)Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor. Tulisan ini pernah dipublikasikan di Majalah Gontor



Jakarta (Pinmas) —- Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali secara terang-terangan menolak adanya wacana tes keperawanan yang muncul di masyarakat. Menurut Menag, wacana untuk dilakukannya tes keperawanan itu tidak etis dan merendahkan pihak perempuan.
Wacana adanya tes keperawanan ini bisa jadi lampu merah bagi dunia pendidikan. Menurut Menag, menjaga moral anak didik terkait pergaulan bebas, bukan itu solusinya. Menjaga moral anak didik perlu perhatian bukan hanya dari lembaga pendidikan, tapi juga keluarga.
“Harus ada langkah efektif dan sinergis dari lembaga pendidikan dan keluarga menjaga anak didik di lingkungannya,” ujar Menag, Rabu (28/08). Lembaga pendidikan dan keluarga harus satu tujuan membentuk anak didik yang berilmu, bertakwa dan berakhlak mulia.
Kalau kedua pihak ini tidak sinergis maka susah untuk menjaga moral anak didik, terutama di tengah pergaulan bebas anak muda saat ini. Menag khawatir apabila tes keperawanan tersebut dilakukan dampaknya tidak baik bagi jangka panjang.
Salah satu kekhawatirannya, bukan hanya merendahkan harkat dan martabat siswi dan perempuan saja, tapi juga mengganggu kejiwaan yang bersangkutan. Dampaknya, lebih jauh akan memunculkan stigma yang tidak baik bagi pendidikan di Indonesia.
Menag mengumpamakan, bila tes tersebut dilaksanakan dan ada siswi yang lolos tes keperawanan. “Apakah itu akan menjamin ia akan bermoral baik? Dan tidak ada jaminan setelah tes keperawanan, siswi itu juga tetap menjaga keperawanannya.”
Itu juga memunculkan ketidakadilan, “Bagaimana dengan menjaga moral siswa, apakah dilakukan tes keperjakaan juga?,” tanyanya.
Karena itu, Menag menegaskan menolak sama sekali wacana tes keperawanan tersebut, khususnya di lembaga pendidikan Islam dibawah Kementerian Agama. “Saya pastikan, madrasah dan pesantren tidak ada tes keperawanan itu.” (amri amrullah)

sumber : http://www.kemenag.go.id

wacana Islam radikal

Jumat, 30 Agustus 2013
Posted by Unknown
Tag :
Radikalisme acap kali dikaitkan dengan agama. Artinya, bahwa karakter radikal kebanyakan muncul dalam aksi-aksi keagamaan. Di Indonesia, mayoritas penduduknya Muslim, sehingga aksi-aksi keagamaan didominasi kaum Muslim. Sehingga, dalam konteks Indonesia, ketika menyebut radikalisme, hal itu biasanya mengkonotasi pada aksi-aksi kelompok Muslim (tertentu). Maka dari itulah, istilah “Islam radikal” sangat familier di telinga kita.
Setidaknya ada dua hal yang muncul di benak kita manakala mendengar istilah Islam radikal. Pertama, ia mengandung konotasi yang negatif (buruk, jelek). Hal ini terjadi tidak lain karena, kedua, dalam common sense kita sekian lama ini (setidaknya dalam dua dekade terakhir), term radikal cenderung identik dengan aksi-aksi kekerasan dan anarksime atas nama agama (Islam) yang dipertontonkan oleh kelompok Islam tertentu. Wujudnya, misal, merusak tempat-tempat yang menurut mereka sarang maksiat (biasanya senjata mereka pentungan), merampok bank (seperti kasus yang menimpa bank CIMB Niaga, yang bahkan disertai pembunuhan), atau bahkan bom bunuh diri (seperti kasus M Syarif yang baru-baru ini terjadi).
Demikianlah, kata radikal menjadi berkonotasi negatif, identik dengan kekerasan, sehingga terdengar menakutkan. Akibatnya, banyak gerakan Islam di dunia ini yang menghindar untuk dicap sebagai radikal. Sebaliknya, mereka ingin dilabeli sebagai Islam moderat atau sejenisnya.

Perspektif Etimologis dan Historis
Kalau ditelusur ke akar etimologisnya, sejatinya kata radikal lebih bermakna positif, tidak ada kaitannya dengan fenomena-fenomena negatif seperti militan, ‘galak’, dan ekstremis. Kata radikal (Inggris: radic, radical), kalau dilihat ke kamus, mengandung arti asal, akar, dasar, tulen. Jadi, radikalisme berarti—kurang lebih—cara berpikir atau bertindak yang bertolak dari nilai-nilai dasar, nilai-nilai fundamental. Nilai-nilai itu, karena mendasar dan fundamental, bersifat universal, misalnya kebebasan (kemerdekaan), keadilan, kesetaraan, HAM, dsb.
Sementara itu, dalam praktik (sejarah), merujuk Farish A Noor (2006: 11-13), radikalisme atau radikal berarti cara berpikir atau sikap untuk kembali ke nilai-nilai dasar itu semua, sebagai protes atas status quo yang timpang. Dan demi visi semacam itu, umumnya para pemikir atau pejuangnya tidak kenal kompromi; sebaliknya, menentang secara total terhadap status quo. Di masa lalu, taruhlah di awal-awal abad 20, banyak pejuang anti-kolonialisme Barat yang dianggap radikal, misalnya Jose Rizal di Filipina, Pridi Banomyong di Siam, Bung Karno di Indonesia, Mahatma Gandi di India, Patrice Lumumba di Kongo, atau Nelson Mandela di Afrika Selatan. Deretan nama tersebut semuanya adalah tokoh-tokoh radikal yang berbahaya. Bagi siapa? Tentu saja bagi kaum penjajah atau rezim militer yang rasis, zalim, dan korups. Disebut radikal, karena mereka memperjuangkan nilai-nilai dasar: kebebasan, keadilan, dan kesetaraan bagi umat yang mereka pimpin. Disebut radikal, karena mereka tidak kenal kompromi dalam memperjuangkan nilai-nilai luhur itu, menentang status quo secara total, meski nyawa sebagai taruhan.

Agama dan Kritik Sosial
Merujuk Ackermann (1985: 2), agama pada dasarnya timbul sebagai kritik yang sah terhadap masyarakat dan cara hidupnya, dalam upaya meletakkan dasar yang kokoh bagi perbaikan nasib manusia secara keseluruhan. Di sinilah kita lihat dimensi kritis agama, bahwa ia lahir sebagai kritik melawan struktur yang timpang. Ketimpangan itu bisa berupa ketidakadilan, diskriminasi, penindasan, dll. Oleh karena itulah, dalam sejarahnya, nabi-nabi pemimpin/penemu agama besar adalah para tokoh yang menstimulasi dan sekaligus menempatkan dirinya di garda depan dalam gerakan melawan ketimpangan struktural.
Gerakan seperti itu, tentu saja amat berbahaya dan radikal menurut pandangan para penganut sistem yang timpang, korups, dan zalim. Maka, dalam sejarahnya, para nabi pemimpin/penemu agama selalu dianggap sebagai orang-orang radikal. Buddha (ada yang mensinyalir, beliau adalah nabi Zulkifli dalam tradisi Islam), misalnya, dianggap radikal oleh kasta Brahma, karena sistem ajarannya menolak dan mengkritik hegemoni kasta tersebut, serta menekankan kepedulian pada isu-isu keadilan sosial.
Isa (Yesus) dianggap radikal oleh para elit agama Yahudi. Alasannya, pemikiran dan ajaran Isa menyerang pendeta Yahudi yang hegemonik dengan berlindung di balik tafsir-tafsir keagamaan yang penuh rekayasa dan intrik. Oleh elit agama Yahudi, ajaran Isa dituduh sebagai “menghina agama Yahudi”. Radikalisme ajaran Isa tampak jelas pada agendanya yang bersifat transformatif, yakni mengubah konstruksi tafsir agama agar sesuai kehendak Tuhan serta berpihak pada umat lapisan bawah; selain juga bersifat reformis, karena berupaya membangun orde sosial yang lebih berkeadilan.
Begitu pun halnya dengan Muhammad. Kala itu para elit Quraisy juga menganggapnya radikal, karena ajarannya melahirkan konflik dan kekacauan di tengah masyarakat. Ajaran Islam yang dibawanya dianggap sesat, menebar fitnah, serta memecah belah keluarga. Radikalisme Islam, kala itu, sesungguhnya terletak pada seruannya pada ajaran tauhid. Merujuk Moeslim Abdurrahman (1996: 17), tauhid di sini dalam artian membebaskan manusia dari penghambaan terhadap selain Allah, ataupun penghambaan dalam arti hancurnya solidaritas sosial. Sebab, jahiliahisme masyarakat Quraisy kala itu secara menonjol dicirikan oleh dua hal: penyembahan berhala, serta kuatnya semangat individualisme akibat keserakahan manusia menumpuk harta demi mengukuhkan status.
Sampai di sini, jika pengertian radikal—dalam kasus Islam—adalah pola pikir dan sikap yang bertolak dari visi dan wawasan untuk menentang segala bentuk kemungkaran, kezaliman, ketimpangan, demi mewujudkan tatanan baru yang berkeadilan bagi semua pihak (justice for all), sebagaimana diekspresikan oleh Muhammad di fase-fase awal sejarah Islam, maka siapa yang berani menolak agenda seperti ini? Dalam sudut pandang visi dan wawasan ini, saya pun akan terang-terangan memproklamirkan diri sebagai Muslim radikal! Mengapa? Karena, sebagai Muslim, saya merasa lebih cocok, lebih sreg, untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Islam dalam posisinya sebagai agama kritis, yakni Islam yang peka pada isu-isu keadilan, Islam yang menentang status quo, Islam gelisah melihat struktur sosial yang timpang.

Militan dan Konservatif                                                                     
Adapun sekelompok Muslim yang menggunakan cara-cara kekerasan demi mencapai tujuan, entah dengan merusak fasilitas publik, melukai, atau bahkan membunuh sesamanya (dengan bom bunuh diri dan sejenisnya), mereka sesungguhnya tidak pas kalau kita sebut radikal (dalam pengertiannya yang positif seperti paparan di atas). Lebih tepatnya, mereka adalah kelompok Muslim militan, ekstremis, dan garis keras (hard-liner), khususnya jika melihat pola dan karakter kekerasan (violence) yang selalu muncul dan identik di dalam aksi-aksi mereka. Kalau ditilik ke kamus Inggris, kata militant berarti suka berperang, serumpun dengan militate (berkelahi, bertempur). Perang, identik dengan kekerasan.
Selain cara “dakwah”-nya yang militan (ada yang memplesetkan: amar makruf “nyambi” mungkar), kelompok seperti itu umumnya berhaluan konservatif. Pola pikir dan pola sikap mereka lebih didasarkan pada nilai-nilai lama yang dianggap sebagai kebenaran lintas waktu dan tempat (absolut). Ini yang kemudian terimplementasi dalam ekspresi-ekpresi lahiriah, seperti dalam berpakaian (berjubah, bercadar, bercelana cungklang, berpeci Arab, bersorban), memelihara jenggot, berpoligami, dan semacamnya. Dalam ranah pemikiran politik, misalnya, mereka tidak sepakat dengan demokrasi (sistem pemilu), HAM, dan sejenisnya, karena dianggap nilai-nilai Barat dan bid’ah. Lebih mendasar lagi, yang melandasi aksi-aksi militan mereka sesungguhnya adalah ide-ide konservatif seperti penerapan syariat Islam secara total, kaffah (baik perdata maupun pidana), penegakan khilafah, pendirian negara Islam, dan semacamnya. Mereka berpikir, bahwa ide-ide tersebut bersifat mendasar sehingga wajib diperjuangkan di era kapan pun kaum Muslim berada. Sebagai wacana, tentu saja ide-ide itu sah-sah saja dilontarkan. Hanya saja, hal penting yang perlu menjadi perhatian bagi siapa saja, bagaimana cara memperjuangkan ide-ide tersebut tidak menempuh cara-cara kekerasan, main hakim sendiri, apalagi sampai menghilangkan nyawa. Wallahu a’lam.[*]
sumber : http://gusbroer.wordpress.com
Ustad Solmed dibuat kaget dengan dukungan yang diberikan pengacara Farhat Abbas terkait kontroversi tarif dakwah. Sebab, Solmed mengetahui kalau Farhat salah satu orang yang 'menyerangnya' melalui situs jejaring sosial.
"Saya pikir beliau (Farhat) melanjutkan apa yang ada di twitter, tapi beliau sampaikan ini hidayah dari Allah. Kalau bisa nangis saya nangis," ucap Solmed saat ditemui di Studio Hanggar, Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa (27/8/2013) malam.
Solmed berterima kasih dengan dukungan yang diberikan oleh suami penyanyi Nia Daniati itu. Solmed pun mengaku sudah memberi maaf kepada pengacara yang doyan memunculkan kontroversial itu.

"Saya orang yang tidak mau sakit hati dan tidak mau membenci dan mendendam. Jangan kan sama Farhat yang mempunyai hati dan seorang doktor. Saya juga nggak pernah menyerang balik dia, saya yakin suatu waktu Allah akan mempertemukan kita," terang Solmed.
Pendakwah yang mulai dikenal publik karena ikut berakting di sinetron 'Pesantren Rock N Roll' itu menyebut hubungannya dengan Farhat layaknya saudara sesama Muslim.
"Ini hati seorang mukmin, hati seorang saudara tidak apa-apa kalau disakiti, tidak pernah menyerang balik dan kalau memaafkan dari hati," pungkasnya.(Gie/Asw)

sumber : http://showbiz.liputan6.com
Posted by Unknown
Tag :
Silang pendapat justru terjadi pada apa yang dimaksud dengan agama itu sendiri. Lebih jelasnya: apakah yang dimaksud agama sebagaimana yang diusulkan dan difungsikan secara ideologis dan oportunis --baik oleh mereka yang berhaluan Kanan ataupun Kiri-- atau agama pascaanalisis, pemahaman, dan penakwilan yang ilmiah, sehingga yang menonjol darinya adalah unsur penggerak kemajuan, keadilan, dan kebebasan? Tulisan ini dimuat dari Harian Media Indonesia, Senin 30 Agustus 2004 KEHADIRAN Nasr Hamid Abu Zayd, lelaki kelahiran Tantra, Mesir, 7 Oktober 1943, dalam konstelasi pemikiran Islam, khususnya di ranah Mesir, mengundang reaksi cukup keras dari publik Mesir. Abu Zayd, begitu ia disapa, dalam batas-batas tertentu, mampu menghidupkan kembali dinamika pemikiran Islam, yang sering kali terjebak pada mono tafsir, Abu Zayd, datang dan membuka ruang-ruang tafsir baru dalam melihat dan mencermati Islam. Tentu saja, kondisi ini dipicu oleh dua kecenderungan utama wacana Islam yang berkembang di Mesir. Yakni kecenderungan islamis (Islamiyyun), baik yang masuk kubu radikal maupun kubu moderat, dan kecenderungan sekularis ('almaniyyun), yang berdiri dari berbagai kelompok mulai yang sosialis hingga liberal. Dari sinilah, Abu Zayd hadir, untuk membelah ruang-ruang tafsir lain ketika berhadapan dengan teks-teks Islam. Atas dasar membuka ruang-ruang baru ketika berhadapan teks-teks Islam itulah, Jaringan Islam Liberal (JIL) dan International Center for Islam dan Pluralism (ICIP), menggelar Workshop Kritik Wacana Agama bersama Nasr Hamid Abu Zayd, di Hotel Millenium, 28-29 Agustus. JIL yang ditukangi Ulil Abshar-Abdalla dan ICIP yang dikomandani M Syafi'i Anwar, merasa perlu mengundang Abu Zayd untuk melihat kembali silang pendapat tentang pentingnya peran agama --bukan hanya Islam-- dalam kehidupan umat beragama. Untuk itu, bagi JIL dan ICIP, betapapun peliknya persoalan agama, dia tetap harus menjadi unsur yang asasi dalam pelbagai proyek kebangkitan. Silang pendapat justru terjadi pada apa yang dimaksud dengan agama itu sendiri. Lebih jelasnya: apakah yang dimaksud agama sebagaimana yang diusulkan dan difungsikan secara ideologis dan oportunis --baik oleh mereka yang berhaluan Kanan ataupun Kiri-- atau agama pascaanalisis, pemahaman, dan penakwilan yang ilmiah, sehingga yang menonjol darinya adalah unsur penggerak kemajuan, keadilan, dan kebebasan? Bertolak dari pelbagai pertanyaan seperti itulah kritik wacana agama kemudian dimungkinkan. Artinya dalam perspektif kawan-kawan JIL dan ICIP, pelbagai pertanyaan seputar titik tolak sebuah wacana, instrumen yang dipergunakan, dan kemungkinan implikasi sosial-politik-keagamaannya, menjadi sangat penting dalam proses kritik. Kepentingan-kepentingan yang bersembunyi di balik sebuah wacana juga menjadi penting untuk ditelaah lebih jauh. Dan salah satu penggiat kegiatan kritik atas wacana agama, yang menulis buku Naqdul al-Khitab Diny dan menjadikannya sebagai concern area pemikirannya, tak lain adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Dengan mengacu pada dinamika wacana agama yang berkembang di negara asalnya, Mesir, Abu Zayd berusaha melakukan kajian kritis dengan perangkat metodologi yang dia susun sendiri. Melalui salah satu bukunya, Naqdul al-Khitab Diny (Kritik Wacana Agama), Abu Zayd merekam secara metodologis dan apik pengalaman dirinya dalam melakukan kritik atas wacana agama. Untuk itu, JIL dan ICIP merasa perlu, menggelar Workshop Kritik Wacana Agama, untuk berdialog dengan Abu Zayd secara langsung seputar kritik atas pelbagai wacana agama Islam kontemporer. Abu Zayd, lelaki yang pada 16 Desember 1993, dibatalkan pengangkatan sebagai Guru Besar Universitas Kairo, karena dianggap telah keluar dari mainstream pemikiran Islam, dan terutama, karena ia dianggap menghina Imam Syafi'i. Waktu itu, Abu Zayd membawa dua buku karangannya, al-Imam as-Syafi'i wa Ta'sis al-Aidulujiyat (Imam Syafi'i, Kemodernan, dan Ekletisisme
dan Naqdul al-Khitab Diny (Kritik Wacana Agama). Abu Zayd menilai Imam Sayfi'i telah menempatkan secara sepihak budaya Quraisy sebagai sentral pemikiran terhadap Alquran. Ia menilai Imam Syafi'i telah membakukan model pemaknaan Alquran, teorisasi sunnah sebagai tasyri' yang otoritatif dan memperluas sunnah sampai dengan ijma, tapi menolak qiyas. "Akibatnya, tak bisa lagi dibedakan mana teks yang primer dan sekunder. Ini memperlihatkan watak moderat Syafi'i hanya semu, karena argumentasinya hanya mengutip sosiologis Quraisy," ungkap Abu Zayd kepada Media, kemarin. Sebenarnya Abu Zayd mencoba berpijak pada dua sasaran utama ketika berhadapan dengan teks-teks Quran. Pertama, ia mencoba meletakkan status tekstualitas Alquran. Kedua, untuk menentukan suatu pemahaman yang objektif terhadap pemahaman teks tersebut. Abu Zayd memandang dua sasaran itu, merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan; satu sisi dari sekeping dua mata uang. Di sisi lain, dalam pandangan Zuhairi Misrawi, dari JIL, upaya pembaruan Islam dikerjakan para pembaru muslim, yang berani menyentuh wilayah Alquran. Artinya, para pembaru itu, ketika berhadapan dengan teks yang disucikan tidak ada pilihan lain: menerima dan mengamininya. Dan pandangan seperti ini mendominasi kalangan Asy'ariyyah. Pandangan seperti itu, menurut Abu Zayd, urai Misrawi, adalah pandangan terbelakang, konservatif, Karenanya perlu ditentang habis-habisan. Bagi Abu Zayd, lanjut Misrawi, teks Quran adalah menjadi wahyu yang harus disentuh dengan pelbagai pembacaan. Salah satunya yaitu memahami Alquran sebagai teks yang disampaikan dalam bentuk bahasa. Bila Alquran sebagai bahasa, semestinya terdapat dimensi budaya, sehingga memungkinkan dialektika antara teks dan konteks. Antarteks dan konteks inilah yang dipersoalkan Amin Abdullah, Rektor IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang hadir sebagai komentator Abu Zayd. Bagi Amin, pembaruan pemikiran Islam harus melihat teks dan konteks, agar mampu memberi kontribusi positif dan memiliki aktualisasi dengan persoalan kekinian. Dalam arus sejarah Islam, teologi tidak pernah bersentuhan dan memikirkan konteks, sehingga terjadi distorsi di sana sini. Itulah sebabnya, lanjut Amin, untuk melawan sakralisasi keagamaan, harus dikembangkan al-qiraah al muntijah (reading productively) terhadap Alquran dan wacana Islam. "Untuk itu, harus ada penjelajahan kembali, antara teks dan konteks dalam perspektif penafsiran dari aspek bahasa (hermeunetik)," ungkap Amin. Baik Goenawan Mohamad, Haidar Bagir, Amin Abdullah, yang hadir sebagai komentator pemikiran Abu Zayd, secara tidak langsung sepakat dengan kerja yang digulirkan Abu Zayd ketika berhadapan dengan kritik teks. Tentu saja, mereka sepakat dengan Abu Zayd, lelaki penyuka bacaan-bacaan sastra ini, bahwa perlu pendekatan hermeneutik sebagai metoda kritik kebenaran agama yang paling tepat. * Edy A Effendi/B-5

Sumber : http://islamlib.com

Anis Malik Thoha - Seiring dengan maraknya proses liberalisasi sosial politik yang menandai lahirnnya tatanan dunia abad modern, dan disusul dengan liberalisasi atau globalisasi (baca: penjajahan model baru) ekonomi, wilayah agama pun, pada gilirannya, dipaksa harus membuka-diri untuk diliberalisasikan.
Agama, yang semenjak era revormasi gereja abad ke-15 wilayah jurisdiksinya telah diredusir, dimarjinalkan dan didomestikasikan sedemikian rupa, yang hanya boleh beroperasi di sisi kehidupan manusia yang paling privat, ternyata masih dianggap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM seperti toleransi, kebebasan, persamaan dan pluralisme. Seakan-akan semua agama secara general adalah musuh demokrasi, kemanusiaan dan HAM. Sehingga agama harus mendekonstruksikan-diri (atau didekonstruksikan secara paksa) agar, menurut bahasa kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumud serta sudah tak sesuai lagi dengan zeitgeist atau semangat zaman.
Jika proses liberalisasi sosial politik di Barat telah melahirkan suatu tatanan politik yang pluralistik yang dikenal dengan “pluralisme politik”, maka liberalisasi agama yang dimaksudkan untuk memfasilitasinya harus bermuara pada terciptanya suatu tatanan sosial yang menempatkan semua agama pada posisi yang sama dan sederajat, “sama benarnya dan sama relatifnya” atau yang sekarang lebih dikenal dengan “pluralisme agama”.
Oleh karena paham liberalisme pada awalnya muncul sebagai madzhab sosial politis, maka wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama, juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik. Maka tidaklah aneh jika kemudian gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan “pluralisme politik” (political pluralism), yang adalah produk dari “liberalisme politik” (political liberalism). Jelas, faham “liberalisme” tidak lebih merupakan respons politis terhadap kondisi sosial masyarakat Kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok dan mazhab. Namun kondisi pluralistik semacan ini masih senantiasa terbatas dalam masyarakat Kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada abad kedua puluh berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.
Meskipun hembusan angin pluralisme telah mulai merebak dan mewarnai pemikiran Eropa khususnya, dan Barat secara umum, pada saat itu, namun masih belum secara kuat mengakar dalam kultur masyarakatnya. Beberapa sekte Kristen ternyata masih mengalami perlakuan dikriminatif dari gereja, sebagaimana yang dialami sekte Mormon, misalnya, yang tetap tidak diakui oleh gereja karena dianggap gerakan heterodox, sampai akhir abad kesembilan belas ketika muncul protes keras dari presiden Amerika Serikat Grover Cleveland (1837-1908). Begitu juga, doktrin “di luar gereja tidak ada keselamatan ” (Extra ecclesiam nulla salus) juga tetap dipegang teguh oleh Gereja Katolik, hingga dilangsungkannya Konsili Vatikan II (Vatican Council II) pada awal-awal enampuluhan abad kedua puluh yang mendeklarasikan doktrin keselamatan umum, bahkan bagi agama-agama selain Kristen.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gagasan pluralisme agama sebenarnya merupakan upaya peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain. Pada dataran ini, gagasan pluralisme agama bisa dilihat sebagai salah satu elemen gerakan reformasi pemikiran agama atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abad kesembilan belas, dalam gerakan yang kemudian dikenal dengan “Liberal Protestantism” yang dipelopori Friedrich Schleiermacher.
***
ETC

Sebagai reaksi terhadap antisemitisme, gerakan Zionisme secara bersamaan lahir pada saat itu pula. Theodor Herzl menulis bukunya Negara Yahudi pada tahun 1896; Muktamar Zionis pertama diselenggarakan di kota Basel, Swis, pada tahun 1897. Para pendiri gerakan ini terdiri dari orang Yahudi sekuler dari Jerman dan Austria. Bagi mereka keyahudian merupakan identitas nasional, bukan identitas agama, dan Zionisme adalah nasionalisme dari suatu bangsa yang belum mempunyai negara. Cita-cita mereka, mendirikan sebuah negara nasional yang sekuler bagi orang Yahudi. Lahirnya gerakan Zionisme tidak ada sangkut pautnya dengan agama Yahudi; faktor pendorong utama adalah keberadaan Yahudi hanya sebagai golongan etnis berstatus "pariah". Namun pilihan mereka akan Palestina sebagai "rumah nasional" bagi bangsa Yahudi tentu saja mengaitkan cita-cita mereka dengan sejarah sakral Yahudi yang tercantum dalam kitab suci Taurat. Hal itu belakangan menyebabkan gerakan Zionisme semakin diwarnai simbol-simbol keagamaan.

sumber : http://www.akhirzaman.info/yahudi/zionis/1521-yahudi-sebagai-simbol-dalam-wacana-islam-indonesia-masa-kini.html
Kaset Qur'an dan konspirasi Yahudi
Pada tahun 1986 seorang ulama di Bima mengeluh kepada peneliti dari LIPI tentang keberadaan kaset rekaman bacaan Al Qur'an yang dijual di mana-mana. "Sekarang semakin banyak orang puas dengan menyetel kaset saja, mereka tidak berminat lagi untuk belajar qira'ah Al Qur'an sendiri." Berbagai teknologi baru, menurut hematnya, sangat membahayakan agama Islam. Ia mencurigai gejala ini berkaitan dengan konspirasi Yahudi-Zionis untuk menghancurkan Islam. Dalam ceramah-ceramahnya, ia sering menyinggung ancaman-ancaman Yahudi terhadap Islam. Ulama yang pernah bermukim di Makkah selama beberapa tahun ini, menceritakan kepada peneliti tadi bahwa ia banyak tahu tentang tipu daya Yahudi itu dari majalah-majalah yang diterimanya dari Rabithah Al-`Alam Al-Islami (Al-Rabithah dan Muslim World News); selain mengutip pula buku yang bernada ancaman terhadap kemajuan dan perkembangan Islam di dunia seperti Al-Maka'id al-Yahudiyah dan Rencana Yahudi terhadap Penghancuran Islam. Ketika peneliti bertanya gejala apa di Indonesia yang dianggapnya sebagai aktivitas Yahudi-Zionis, ditudingnya organisasi-organisasi seperti Lions Club .
Yahudi sebagai ancaman terhadap nilai-nilai tradisional
Kasus ulama Bima di atas mengejutkan saya karena merupakan pertemuan pertama saya dengan semangat anti-Yahudi yang bukan anti-Israel saja di Indonesia. Di Bima, tentu saja, tidak ada orang Yahudi, dan andaikata terdapat Lions Club pun pastilah bukan mereka yang mengedarkan kaset Muammar Z dan qari-qari lainnya. Mengapa ungkapan keprihatinan sang ulama mengaitkannya dengan Yahudi? Ternyata ia tidak sendirian; beberapa tahun terakhir kian sering kita menjumpai kata "Yahudi" dipakai sebagai julukan negatif bagi perkembangan, pemikiran atau sikap yang dianggap membahayakan umat Islam. "Yahudi" telah menjadi simbol dari sesuatu yang tak mudah diungkapkan secara eksplisit. Yang dimaksudkan, agaknya, bukan agama Yahudi, dan bukan juga kebijaksanaan resmi pemerintah Israel atau pun kelompok Zionis ekstrim, melainkan sesuatu yang lebih abstrak dan tersembunyi.
Ada dua hal menarik berkenaan dengan munculnya Yahudi sebagai simbol dalam wacana Islam di Indonesia. Pertama, Yahudi seringkali disebut dalam konteks kekhawatiran tentang adanya konspirasi untuk menghancurkan Islam. Banyak aspek proses modernisasi, berikut sekularisasi dan rasionalisasi, pergeseran nilai-nilai tradisional, globalisasi ekonomi dan budaya, individualisme dan hedonisme dilihat sebagai hasil rekayasa, bukan proses yang berdiri sendiri. Semua perkembangan barusan diduga kuat telah direncanakan dan dilaksanakan oleh persekongkolan yang memusuhi Islam dan ingin menghancurkannya. Konspirasi rahasia tersebut diidentikkan dengan Yahudi dan Zionis; tetapi setiap orang yang dianggap berjasa demi tujuan persekongkolan tersebut, walaupun agama dan kebangsaannya berbeda, bisa saja dijuluk Yahudi.
Kedua, teori-teori konspirasi dan kecenderungan untuk mengkambinghitamkan Yahudi tentu saja tidak lahir di Indonesia melainkan berasal dari negara-negara Arab - utamanya Arab Saudi, Kuwait dan Mesir. Menyembulnya kebencian kebanyakan orang Arab saat ini kepada orang Yahudi tak bisa dilepaskan dari masalah Palestina. Keprihatinan tentang Zionisme Israel sangat wajar. Meski di sini perlu ditambahkan, kepercayaan akan adanya konspirasi Yahudi untuk menghancurkan Islam dan menguasai seluruh dunia bukan hanya reaksi terhadap eksistensi Israel saja, dan sesungguhnya juga disebabkan penyebaran antisemitisme Barat ke negara-negara Arab.
Sumber yang seringkali menjadi rujukan, yaitu Al-Maka`id Al-Yahudiyah alias Protokol-Protokol Para Sesepuh Zion alias Ayat-Ayat Setan Yahudi, merupakan hasil fabrikasi beberapa orang anti-Yahudi Rusia dan kemudian dipergunakan sebagai alat propaganda oleh Nazi Jerman. Buku inilah yang pernah merupakan legitimasi utama bagi pembunuhan massal terhadap orang Yahudi oleh Nazi Jerman. Protokol-protokol konon terdiri dari notulen pemerintah rahasia Yahudi tentang strategi mereka untuk menguasai dunia, melalui kapitalisme maupun komunisme, demokrasi maupun kediktatoran, revolusi maupun liberalisasi ekonomi. Pada dasawarsa 1950-an edisi Arabnya terbit, dan belakangan beberapa kali diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Editor-editor Indonesianya tampaknya tidak menyadari bahwa buku ini bukan dokumen sejarah benar melainkan pemalsuan oleh kalangan antisemitis.

Welcome to My Blog

Popular Post

Blogger templates

Pengikut

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

- Copyright © Kemprit (Kumpulan Entri Inspiratif) -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -