Radikalisme acap kali dikaitkan dengan agama. Artinya, bahwa
karakter radikal kebanyakan muncul dalam aksi-aksi keagamaan. Di
Indonesia, mayoritas penduduknya Muslim, sehingga aksi-aksi keagamaan
didominasi kaum Muslim. Sehingga, dalam konteks Indonesia, ketika
menyebut radikalisme, hal itu biasanya mengkonotasi pada aksi-aksi
kelompok Muslim (tertentu). Maka dari itulah, istilah “Islam radikal”
sangat familier di telinga kita.
Setidaknya ada dua hal yang muncul di benak kita manakala mendengar istilah Islam radikal. Pertama, ia mengandung konotasi yang negatif (buruk, jelek). Hal ini terjadi tidak lain karena, kedua, dalam common sense
kita sekian lama ini (setidaknya dalam dua dekade terakhir), term
radikal cenderung identik dengan aksi-aksi kekerasan dan anarksime atas
nama agama (Islam) yang dipertontonkan oleh kelompok Islam tertentu.
Wujudnya, misal, merusak tempat-tempat yang menurut mereka sarang
maksiat (biasanya senjata mereka pentungan), merampok bank (seperti
kasus yang menimpa bank CIMB Niaga, yang bahkan disertai pembunuhan),
atau bahkan bom bunuh diri (seperti kasus M Syarif yang baru-baru ini
terjadi).
Demikianlah, kata radikal menjadi berkonotasi negatif, identik dengan
kekerasan, sehingga terdengar menakutkan. Akibatnya, banyak gerakan
Islam di dunia ini yang menghindar untuk dicap sebagai radikal.
Sebaliknya, mereka ingin dilabeli sebagai Islam moderat atau sejenisnya.
Perspektif Etimologis dan Historis
Kalau ditelusur ke akar etimologisnya, sejatinya kata radikal lebih
bermakna positif, tidak ada kaitannya dengan fenomena-fenomena negatif
seperti militan, ‘galak’, dan ekstremis. Kata radikal (Inggris: radic, radical), kalau dilihat ke kamus, mengandung arti asal, akar, dasar, tulen.
Jadi, radikalisme berarti—kurang lebih—cara berpikir atau bertindak
yang bertolak dari nilai-nilai dasar, nilai-nilai fundamental.
Nilai-nilai itu, karena mendasar dan fundamental, bersifat universal,
misalnya kebebasan (kemerdekaan), keadilan, kesetaraan, HAM, dsb.
Sementara itu, dalam praktik (sejarah), merujuk Farish A Noor (2006:
11-13), radikalisme atau radikal berarti cara berpikir atau sikap untuk
kembali ke nilai-nilai dasar itu semua, sebagai protes atas status quo
yang timpang. Dan demi visi semacam itu, umumnya para pemikir atau
pejuangnya tidak kenal kompromi; sebaliknya, menentang secara total
terhadap status quo. Di masa lalu, taruhlah di awal-awal abad 20, banyak
pejuang anti-kolonialisme Barat yang dianggap radikal, misalnya Jose
Rizal di Filipina, Pridi Banomyong di Siam, Bung Karno di Indonesia,
Mahatma Gandi di India, Patrice Lumumba di Kongo, atau Nelson Mandela di
Afrika Selatan. Deretan nama tersebut semuanya adalah tokoh-tokoh
radikal yang berbahaya. Bagi siapa? Tentu saja bagi kaum penjajah atau
rezim militer yang rasis, zalim, dan korups. Disebut radikal, karena
mereka memperjuangkan nilai-nilai dasar: kebebasan, keadilan, dan
kesetaraan bagi umat yang mereka pimpin. Disebut radikal, karena mereka
tidak kenal kompromi dalam memperjuangkan nilai-nilai luhur itu,
menentang status quo secara total, meski nyawa sebagai taruhan.
Agama dan Kritik Sosial
Merujuk Ackermann (1985: 2), agama pada dasarnya timbul sebagai
kritik yang sah terhadap masyarakat dan cara hidupnya, dalam upaya
meletakkan dasar yang kokoh bagi perbaikan nasib manusia secara
keseluruhan. Di sinilah kita lihat dimensi kritis agama, bahwa ia lahir
sebagai kritik melawan struktur yang timpang. Ketimpangan itu bisa
berupa ketidakadilan, diskriminasi, penindasan, dll. Oleh karena itulah,
dalam sejarahnya, nabi-nabi pemimpin/penemu agama besar adalah para
tokoh yang menstimulasi dan sekaligus menempatkan dirinya di garda depan
dalam gerakan melawan ketimpangan struktural.
Gerakan seperti itu, tentu saja amat berbahaya dan radikal menurut
pandangan para penganut sistem yang timpang, korups, dan zalim. Maka,
dalam sejarahnya, para nabi pemimpin/penemu agama selalu dianggap
sebagai orang-orang radikal. Buddha (ada yang mensinyalir, beliau adalah
nabi Zulkifli dalam tradisi Islam), misalnya, dianggap radikal oleh
kasta Brahma, karena sistem ajarannya menolak dan mengkritik hegemoni
kasta tersebut, serta menekankan kepedulian pada isu-isu keadilan
sosial.
Isa (Yesus) dianggap radikal oleh para elit agama Yahudi. Alasannya,
pemikiran dan ajaran Isa menyerang pendeta Yahudi yang hegemonik dengan
berlindung di balik tafsir-tafsir keagamaan yang penuh rekayasa dan
intrik. Oleh elit agama Yahudi, ajaran Isa dituduh sebagai “menghina
agama Yahudi”. Radikalisme ajaran Isa tampak jelas pada agendanya yang
bersifat transformatif, yakni mengubah konstruksi tafsir agama agar
sesuai kehendak Tuhan serta berpihak pada umat lapisan bawah; selain
juga bersifat reformis, karena berupaya membangun orde sosial yang lebih
berkeadilan.
Begitu pun halnya dengan Muhammad. Kala itu para elit Quraisy juga
menganggapnya radikal, karena ajarannya melahirkan konflik dan kekacauan
di tengah masyarakat. Ajaran Islam yang dibawanya dianggap sesat,
menebar fitnah, serta memecah belah keluarga. Radikalisme Islam, kala
itu, sesungguhnya terletak pada seruannya pada ajaran tauhid. Merujuk
Moeslim Abdurrahman (1996: 17), tauhid di sini dalam artian membebaskan
manusia dari penghambaan terhadap selain Allah, ataupun penghambaan
dalam arti hancurnya solidaritas sosial. Sebab, jahiliahisme masyarakat
Quraisy kala itu secara menonjol dicirikan oleh dua hal: penyembahan
berhala, serta kuatnya semangat individualisme akibat keserakahan
manusia menumpuk harta demi mengukuhkan status.
Sampai di sini, jika pengertian radikal—dalam kasus Islam—adalah pola
pikir dan sikap yang bertolak dari visi dan wawasan untuk menentang
segala bentuk kemungkaran, kezaliman, ketimpangan, demi mewujudkan
tatanan baru yang berkeadilan bagi semua pihak (justice for all),
sebagaimana diekspresikan oleh Muhammad di fase-fase awal sejarah
Islam, maka siapa yang berani menolak agenda seperti ini? Dalam sudut
pandang visi dan wawasan ini, saya pun akan terang-terangan
memproklamirkan diri sebagai Muslim radikal! Mengapa? Karena, sebagai
Muslim, saya merasa lebih cocok, lebih sreg, untuk
mengaktualisasikan nilai-nilai Islam dalam posisinya sebagai agama
kritis, yakni Islam yang peka pada isu-isu keadilan, Islam yang
menentang status quo, Islam gelisah melihat struktur sosial yang
timpang.
Militan dan Konservatif
Adapun sekelompok Muslim yang menggunakan cara-cara kekerasan demi
mencapai tujuan, entah dengan merusak fasilitas publik, melukai, atau
bahkan membunuh sesamanya (dengan bom bunuh diri dan sejenisnya), mereka
sesungguhnya tidak pas kalau kita sebut radikal (dalam pengertiannya
yang positif seperti paparan di atas). Lebih tepatnya, mereka adalah
kelompok Muslim militan, ekstremis, dan garis keras (hard-liner), khususnya jika melihat pola dan karakter kekerasan (violence) yang selalu muncul dan identik di dalam aksi-aksi mereka. Kalau ditilik ke kamus Inggris, kata militant berarti suka berperang, serumpun dengan militate (berkelahi, bertempur). Perang, identik dengan kekerasan.
Selain cara “dakwah”-nya yang militan (ada yang memplesetkan: amar
makruf “nyambi” mungkar), kelompok seperti itu umumnya berhaluan
konservatif. Pola pikir dan pola sikap mereka lebih didasarkan pada
nilai-nilai lama yang dianggap sebagai kebenaran lintas waktu dan tempat
(absolut). Ini yang kemudian terimplementasi dalam ekspresi-ekpresi
lahiriah, seperti dalam berpakaian (berjubah, bercadar, bercelana
cungklang, berpeci Arab, bersorban), memelihara jenggot, berpoligami,
dan semacamnya. Dalam ranah pemikiran politik, misalnya, mereka tidak
sepakat dengan demokrasi (sistem pemilu), HAM, dan sejenisnya, karena
dianggap nilai-nilai Barat dan bid’ah. Lebih mendasar lagi, yang
melandasi aksi-aksi militan mereka sesungguhnya adalah ide-ide
konservatif seperti penerapan syariat Islam secara total, kaffah
(baik perdata maupun pidana), penegakan khilafah, pendirian negara
Islam, dan semacamnya. Mereka berpikir, bahwa ide-ide tersebut bersifat
mendasar sehingga wajib diperjuangkan di era kapan pun kaum Muslim
berada. Sebagai wacana, tentu saja ide-ide itu sah-sah saja dilontarkan.
Hanya saja, hal penting yang perlu menjadi perhatian bagi siapa saja,
bagaimana cara memperjuangkan ide-ide tersebut tidak menempuh cara-cara
kekerasan, main hakim sendiri, apalagi sampai menghilangkan nyawa. Wallahu a’lam.[*]