Posted by : Unknown
Selasa, 10 September 2013
MASALAH SOSIAL YANG ADA DI MASYARAKAT
Definisi/Pengertian Masalah Sosial dan Jenis/Macam Masalah Sosial Dalam Masyarakat
Menurut
Soerjono Soekanto masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara
unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan
kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada
dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam
kehidupan kelompok atau masyarakat.
Masalah
sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai
dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber
masalah sosial yaitu seperti proses sosial dan bencana alam. Adanya
masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisasi
sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya.
Masalah sosial dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) jenis faktor, yakni antara lain :
1. Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll.
2. Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dll.
3. Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb.
4. Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb.
1. Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll.
2. Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dll.
3. Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb.
4. Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb.
Masalah
sosial di Indonesia terjadi seperti lingkaran setan, Pemerintah telah
membuat peraturantentangakan memberi denda pada orang yang bersedekah
pada pengemis, dan pemerintah juga sibuk dengan kebijakan-kebijakan yang
telah dan akan dibuat yang berkaitan dengan masalah sosial yang terjadi
di Indonesia seperti PNPM Mandiri, Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Masalah
sosial yang sangat terasa di saat sekarang ini adalah realita
kemiskinan yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Kita semua
menyadari bahwa kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial di
Indonesia yang tidak mudah untuk diatasi. Beragam upaya dan program
dilakukan untuk mengatasinya tetapi masih banyak kita temui permukiman
masyarakat miskin hamper di setiap sudut kota.Keluhan yang paling sering
disampaikan mengenai pemukiman masayarakat miskin tersebut adalah
rendahnya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang
mesti disingkirkan.
MACAM - MACAM MASALAH SOSIAL YANG ADA di INDONESIA :
- Masalah Sosial Kemiskinan :
Tulisan
ini mencoba untuk memberikan penjelasan tentang latar belakang
terjadinya kemisikinan di Indonesia secara umum dan kota Jakarta secara
khususnya, dan upaya untuk mengatasi kemiskinan di perkotaan sekaligus
pula untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman masyarakat
miskin.
Pendekatan
konvensional yang paling popular dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah adalah menggusur pemukiman kumuh dan kemudian diganti
oleh kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap lebih bermartabat. Cara
seperti ini yang sering disebut pula sebagai peremajaan kota bukanlah
cara yang berkelanjutan untuk menghilangkan kemiskinan dari perkotaan.
Kemiskinan
dan kualitas lingkungan yang rendah adalah hal yang mesti dihilangkan
tetapi tidak dengan menggusur masyarakat yang telah bermukim lama di
lokasi tersebut. Menggusur secara paksa adalah hanya sekedar memindahkan
kemiskinan dari lokasi lama ke lokasi baru dan kemiskinan tidak akan
pernah berkurang. Bagi orang yang tergusur malahan penggusuran ini akan
semakin menyulitkan kehidupan mereka karena mereka mesti beradaptasi
dengan lokasi pemukimannya yang baru dan penggusuran secara paksa bahkan
sampai dengan adanya unsure anarkisme itu adalah melanggar hak asasi
manusia yang paling hakiki dan harus dihormati bersama.
Di Amerika Serikat, pendekatan peremajaan kota sering digunakan pada tahun 1950 dan 1960-an.2Pada
saat itu pemukiman-pemukiman masyarakat miskin di pusat kota digusur
dan diganti dengan kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap lebih baik.
Peremajaan kota ini menciptakan kondisi fisik perkotaan yang lebih baik
tetapi sarat dengan masalah sosial. Kemiskinan hanya berpindah saja dan
masyarakat miskin yang tergusur semakin sulit untuk keluar dari
kemiskinan karena akses mereka terhadap pekerjaan semakin sulit.
Peremajaan
kota yang dilakukan pada saat itu sering kali disesali oleh para ahli
perkotaan saat ini karena menyebabkan timbulnya masalah sosial seperti
kemiskinan perkotaan yang semakin akut, gelandangan dan kriminalitas.
Menyadari kesalahan yang dilakukan masa lalu, pada awal tahun 1990-an
kota-kota di Amerika Serikat lebih banyak melibatkan masyarakat miskin
dalam pembangunan perkotaannya dan tidak lagi menggusur mereka untuk
menghilangkan kemiskinan di perkotaan.
Kalau
diIndonesia, paling sedikit kami menemukan dua masyarakat miskin di
Jakarta yang melakukan aktivitas hijau untuk meningkatkan kualitas
lingkungan sembari menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat
miskin. Seperti dapat ditemui di Indonesia’s Urban Studies,
masyarakat di Penjaringan, Jakarta Utara dan masyarakat kampung Toplang
di Jakarta Barat mereka mengelola sampah untuk dijadikan kompos dan
memilah sampah nonorganik untuk dijual.
Aktivitas
hijau di Penjaringan, Jakarta Utara dilakukan melalui program
Lingkungan Sehat Masyarakat Mandiri yang diprakarsai oleh Mercy Corps
Indonesia. Masyarakat miskin di Penjaringan terlibat aktif tanpa terlalu
banyak intervensi dari Mercy Corps Indonesia. Program berjalan dengan
baik dan dapat meningkatkan kualitas lingkungan kumuh di Penjaringan.
Masyarakat di Penjaringan sangat antusias untuk melakukan kegiatan ini
dan mereka yakin untu mampu mendaurlang sampah di lingkungannya dan
menjadikannya sebagai lapangan pekerjaan yang juga akan berkontribusi
untuk mengentaskan kemiskinan di lingkungannya.
Cara
untuk mengatasi kemiskinan dan rendahnya kualitas lingkungan permukiman
masyarakat miskin adalah tidak dengan menggusurnya. Penggusuran
hanyalah menciptakan masalah sosial perkotaan yang semakin akut dan
pelik. Penggusuran atau sering diistilahkan sebagai peremajaan kota
adalah cara yang tidak berkelanjutan dalam mengatasi kemiskinan.
Aktivitas hijau3seperti
yang dilakukan oleh masyarakat Penjaringan dan Kampung Toplang
merupakan bukti kuat bahwa masyarakat miskin mampu meningkatkan kualitas
lingkungan permukiman dan juga mengentaskan kemiskinan. Masyarakat
miskin adalah salah satu komponen dalam komunitas perkotaan yang mesti
diberdayakan dan bukannya untuk digusur. Solusi yang berkelanjutan untuk
mengatasi kemiskinan dan pemukiman kumuh di perkotaan adalah
pemberdayaan masyarakat miskin dan bukanlah penggusuran.
Lain lagi kemiskinan yang terjadi di masyarakat Flores, bagi
masyarakat Flores kemiskinan merupakan sebuah fakta. Ini muncul dalam
berbagai aspek dan bentuk kehidupan masyarakat sehingga menjadi sebuah
persoalan yang pelik dan serius. Menyoal kemiskinan, lantas membedahnya
dan menemukan solusi pengentasannya bagai mengurai benang kusut yang
sangat rumit untuk diselesaikan.
Secara
alamiah daerah Flores termasuk daerah yang gersang dan tandus. Hal ini
tidak dapat dipungkiri karena fakta membuktikan curah hujan yang rendah
dan musim panas yang panjang. Problem alamiah ini diperparah dengan
keadaan geografis Flores yang tergolong rentan akan bencana alam.
Berangkat dari latar belakang ini, sebetulnya keadaan sosial-ekonomi
masyarakat Flores sudah bisa diukur. Hampir sebagian besar masyarakat
Flores bertani secara musiman, dan amat tergantung pada hasil pertanian
jangka panjang. Sementara yang menetap di pesisir pantai menggantungkan
hidupnya pada hasil tangkapan laut. Dari sini dapat diukur kemampuan
ekonomi rata-ratanya, bahwa pendapatan perkapita sangat rendah dan masih
terbilang berada di bawah garis kemiskinan.
Mempersoalkan kemiskinan Flores
dari latar belakang geografis dan juga topografis masih terbilang wajar,
dan itu tidak terelakkan. Lantas, untuk mengelak dari keadaan yang
demikian, separuh kaum muda baik laki-laki maupun perempuan.
2. Masalah Solsial Pengangguran :
Pengangguran dan Pengertiannya
Dalam indikator ekonomi makro ada tiga hal terutama yang menjadi pokok
permasalahan ekonomi makro. Pertama adalah masalah pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi dapat dikategorikan baik jika angka pertumbuhan positif
dan bukannya negatif. Kedua adalah masalah inflasi. Inflasi adalah indikator
pergerakan harga-harga barang dan jasa secara umum, yang secara bersamaan
juga berkaitan dengan kemampuan daya beli. Inflasi mencerminkan stabilitas
harga, semakin rendah nilai suatu inflasi berarti semakin besar adanya kecenderungan ke arah stabilitas harga. Namun masalah inflasi tidak hanya berkaitan dengan melonjaknya harga suatu barang dan jasa. Inflasi juga sangat berkaitan dengan purchasing power atau daya beli dari masyarakat. Sedangkan daya beli masyarakat sangat bergantung kepada upah riil. Inflasi sebenarnya tidak terlalu bermasalah jika kenaikan harga dibarengi dengan kenaikan upah riil. Masalah ketiga adalah pengangguran. Memang masalah pengangguran telah menjadi momok yang begitu menakutkan khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Negara berkembang seringkali dihadapkan dengan besarnya angka pengangguran karena sempitnya lapangan pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk. Sempitnya lapangan pekerjaan dikarenakan karena faktor kelangkaan modal untuk berinvestasi. Masalah pengangguran itu sendiri tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang namun juga dialami oleh negara-negara maju. Namun masalah pengangguran di negara-negara maju jauh lebih mudah terselesaikan daripada di negara-negara berkembang karena hanya berkaitan dengan pasang surutnya business cycle dan bukannya karena faktor kelangkaan investasi, masalah ledakan penduduk, ataupun masalah sosial politik di negara tersebut. Melalui artikel inilah
saya mencoba untuk mengangkat masalah pengangguran dengan segala dampaknya di Indonesia yang menurut pengamatan saya sudah semakin memprihatinkan terutama ketika negara kita terkena imbas dari krisis ekonomi sejak tahun 1997 . Apa itu pengangguran? Pengangguran adalah suatu kondisi di mana orang tidak dapat bekerja, karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan. Ada berbagai macam tipe pengangguran, misalnya pengangguran teknologis, pengangguran friksional dan pengangguran struktural. Tingginya angka pengangguran, masalah ledakan penduduk, distribusi pendapatan yang tidak merata, dan berbagai permasalahan lainnya di negara kita menjadi salah satu faktor utama rendahnya taraf hidup para penduduk di negara kita. Namun yang menjadi manifestasi utama sekaligus faktor penyebab rendahnya taraf hidup di negara-negara berkembang adalah terbatasnya penyerapan sumber daya, termasuk sumber daya manusia. Jika dibandingkan dengan negara-negara maju, pemanfaatan sumber daya yang dilakukan oleh negara-negara berkembang relatif lebih rendah daripada yang dilakukan di negara-negara maju karena buruknya efisiensi dan efektivitas dari penggunaan sumber daya baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Dua penyebab utama dari rendahnya pemanfaatan sumber daya manusia adalah karena tingkat pengangguran penuh dan tingkat pengangguran terselubung yang terlalu tinggi dan terus melonjak. Pengangguran penuh atau terbuka yakni terdiri dari orang-orang yang sebenarnya mampu dan ingin bekerja, akan tetapi tidak mendapatkan lapangan pekerjaan sama sekali. Berdasarkan data dari Depnaker pada tahun 1997 jumlah pengangguran terbuka saja sudah mencapai sekitar 10% dari sekitar 90 juta angkatan kerja yang ada di Indonesia, dan jumlah inipun belum mencakup
pengangguran terselubung. Jika persentase pengangguran total dengan melibatkan jumlah pengangguran terselubung dan terbuka hendak dilihat angkanya, maka angkanya sudah mencapai 40% dari 90 juta angkatan kerja yang berarti jumlah penganggur mencapai sekitar 36 juta orang. Adapun pengangguran terselubung adalah orang-orang yang menganggur karena bekerja di bawah kapasitas optimalnya. Para penganggur terselubung ini adalah orang-orang yang bekerja di bawah 35 jam dalam satu minggunya. Jika kita berasumsi bahwa krisis ekonomi hingga saat ini belum juga bisa terselesaikan maka angka-angka tadi dipastikan akan lebih melonjak. Ledakan Pengangguran Akibat krisis finansial yang memporak-porandakan perkonomian nasional, banyak para pengusaha yang bangkrut karena dililit hutang bank atau hutang ke rekan bisnis. Begitu banyak pekerja atau buruh pabrik yang terpaksa di-PHK oleh perusahaan di mana tempat ia bekerja dalam rangka pengurangan besarnya cost yang dipakai untuk membayar gaji para pekerjanya. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya ledakan pengangguran yakni pelonjakan angka pengangguran dalam waktu yang relatif singkat. Awal ledakan pengangguran sebenarnya bisa diketahui sejak sekitar tahun 1997 akhir atau 1998 awal. Ketika terjadi krisis moneter yang hebat melanda Asia khususnya Asia Tenggara mendorong terciptanya likuiditas ketat sebagai reaksi terhadap gejolak moneter. Di Indonesia, kebijakan likuidasi atas 16 bank akhir November 1997 saja sudah bisa membuat sekitar 8000 karyawannya menganggur. Dan dalam selang waktu yang tidak relatif lama, 7.196 pekerja dari 10 perusahaan sudah di PHK dari pabrik-pabrik mereka di Jawa Barat, Jakarta, Yogyakarta, dan Sumatera Selatan berdasarkan data pada akhir Desember 1997. Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap sekitar 1,3 juta orang dari tambahan angkatan kerja sekitar 2,7 juta orang. Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran jadinya akan melampaui 10 juta orang. Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada data-data pada tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah memadai, seharusnya pertumbuhan ekonomi yang ideal bagi negara berkembang macam Indonesia adalah di atas 6%. Berdasarkan data sepanjang di tahun 1996, perekonomian hanya mampu menyerap 85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang. Tahun 1996 perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah relatif besar karena ekonomi nasional tumbuh hingga 7,98 persen. Tahun 1997 dan 1998, pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan tidak secerah tahun 1996. Pada tahun 1998 krisis ekonomi bertambah parah karena banyak wilayah Indonesia yang diterpa musim kering, inflasi yang terjadi di banyak daerah, krisis moneter di dalam negeri maupun di negara-negara mitra dagang seperti sesama ASEAN, Korsel dan Jepang akan sangat berpengaruh. Jika kita masih berpatokan dengan asumsi keadaan di atas, maka ledakan pengangguran diperkirakan akan berlangsung terus sepanjang tahun-tahun ke depan. Memang ketika kita menginjak tahun 2000, jumlah pengangguran di tahun 2000 ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapat sekitar 35,97 juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran saat ini yaitu pada tahu 2001 mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan ekonomi tidak segera berjalan dengan baik. Karena hal inilah maka pemerintah perlu berusaha semaksimal mungkin untuk mencari investor asing guna menanamkan modalnya di sini sehingga lapangan pekerjaan baru dapat tercipta untuk dapat menyerap sebanyak mungkin tenaga kerja. Berdasarkan perhitungan maka pada saat ini perekonomian negara kita memerlukan pertumbuhan ekonomi minimal 6 persen, meski idealnya diatas 6 persen, sehingga bisa menampung paling tidak 2,4 juta angkatan kerja baru. Sebab dari satu persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap sektiar 400 ribu angkatan kerja. Ini juga ditambah dengan peluang kerja di luar negeri yang rata-rata bisa menampung 500 ribu angkatan kerja setiap tahunnya. Untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang pesat maka mau tidak mau negara kita terpaksa harus menarik investasi asing karena sangatlah sulit untuk mengharapkan banyak dari investasi dalam negeri mengingat justru di dalam negeri para pengusaha besar banyak yang berhutang ke luar negeri. Hal ini bertambah parah karena hutang para pengusaha (sektor swasta) dan pemerintah dalam bentuk dolar. Sementara pada saat ini nilai tukar rupiah begitu rendah (undervalue) terhadap dolar. Namun menarik para investor asingpun bukan merupakan pekerjaan yang mudah jika kita berkaca pada situasi dan kondisi sekarang ini. Suhu politik yang semakin memanas, kerawanan sosial, teror bom, faktor desintegrasi bangsa, dan berbagai masalah lainnya akan membuat para investor asing enggan untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Karena itulah maka situasi dan kondisi yang kondusif haruslah diupayakan dan dipertahankan guna menarik investor asing masuk kemari dan menjaga agar para investor asing yang sudah menanamkan modalnya asing tidak lagi menarik modalnya ke luar yang nantinya akan berakibat capital outflow. Masalah Pengangguran dan Krisis Sosial Jika masalah pengangguran yang demikian pelik dibiarkan berlarut-larut maka sangat besar kemungkinannya untuk mendorong suatu krisis sosial. Suatu krisis sosial ditandai dengan meningkatnya angka kriminalitas, tingginya angka kenakalan remaja, melonjaknya jumlah anak jalanan atau preman, dan besarnya kemungkinan untuk terjadi berbagai kekerasan sosial yang senantiasa menghantui masyarakat kita. Bagi banyak orang, mendapatkan sebuah pekerjaan seperti mendapatkan harga diri.Kehilangan pekerjaan bisa dianggap kehilangan harga diri. Walaupun bukan pilihan semua orang, di zaman serba susah begini pengangguran dapat dianggap sebagai nasib. Seseorang bisa saja diputus hubungan kerja karena perusahaannya bangkrut. Padahal di masyarakat, jutaan penganggur juga antri menanti tenaganya dimanfaatkan. Besarnya jumlah pengangguran di Indonesia lambat-laun akan menimbulkan banyak masalah sosial yang nantinya akan menjadi suatu krisis sosial, karena banyak orang yang frustasi menghadapi nasibnya. Pengangguran yang terjadi tidak saja menimpa para pencari kerja yang baru lulus sekolah, melainkan juga menimpa orangtua yang kehilangan pekerjaan karena kantor dan pabriknya tutup. Indikator masalah sosial bisa dilihat dari begitu banyaknya anak-anak yang mulai turun ke jalan. Mereka menjadi pengamen, pedagang asongan maupun pelaku tindak kriminalitas. Mereka adalah generasi yang kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan maupun pembinaan yang baik. Salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran di negara kita adalah terlampau banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di sektor informal. Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan kerja, entah sebagai joki yang menumpang di mobil atau joki payung kalau hujan. Juga para pedagang kaki lima dan tukang becak, bahkan orang demo saja dibayar. Yang menjadi kekhawatiran adalah jika banyak para penganggur yang mencari jalan keluar dengan mencari nafkah yang tidak halal. Banyak dari mereka yang menjadi pencopet, penjaja seks, pencuri, preman, penjual narkoba, dan sebagainya. Bahkan tidak sedikit mereka yang dibayar untuk berbuat rusuh atau anarkis demi kepentingan politik salah satu kelompok tertentu yang masih erat hubungannya dengan para pentolan Orba. Ada juga yang menyertakan diri menjadi anggota laskar jihad yang dikirim ke
Ambon dengan dalih membela agama. Padahal di sana mereka cuma jadi perusuh yang doyan menjarah, memperkosa, dan membunuh orang-orang Maluku yang tidak berdosa. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh pemerintah jika krisis sosial tidak ingin berlanjut terus. Masalah Pengangguran dan Pendidikan
Pengangguran intelektual di Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mendekati titik yang mengkhawatirkan. Diperkirakan angka pengangguran intelektual yang pada tahun 1995 mencapai 12,36 persen, pada tahun 1995 diperkirakan akan meningkat menjadi 18,55 persen, dan pada tahun 2003 meningkat lagi menjadi 24,5 persen. Pengangguran intelektual ini tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita dimana para tenaga kerja yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar. Meski ada kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun upaya
tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu maka salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Di negara-negara maju, pendidikkan dalam wujud praktek lebih diberikan dalam porsi yang lebih besar. Di sanapun, cara pembelajaran dan pemberian pendidikkan diberikan dalam wujud yang lebih menarik dan kreatif. Di negara kita, saat ini ada kecenderungan bahwa para siswa hanya mempunyai kebiasaan menghafal saja untuk pelajaran-pelajaran yang menyangkut ilmu sosial, bahasa, dan sejarah atau menerima saja berbagai teori namun sayangnya para siswa tidak memiliki kemampuan untuk menggali wawasan pandangan yang lebih luas serta cerdas dalam memahamidan mengkaji suatu masalah. Sedangkan untuk ilmu pengetahuan alam para siswa cenderung hanya diberikan latihan soal-soal yang cenderung hanya melatih kecepatan dalam berpikir untuk menemukan jawaban dan bukannya mempertajam penalaran atau melatih kreativitas dalam berpikir. Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika bukan karena kecerdikan dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian dalam membuat jalan perhitungan tetapi karena dia memang sudah hafal tipe soalnya. Seringkali seseorangpun hanya sekedar bisa mengerjakan soalnya dengan menggunakan rumus tetapi tidak tahu asal muasal rumus tersebut. Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan jauh dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlampau melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni. Sehingga karena hal inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit bersaing dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan. Jika kita melihat dari sudut pandang ekonomi, pengangguran tenaga kerja terdidik cenderung meningkat pada saat masyarakat mengalami proses modernisasi dan industrialisasi. Dalam proses perubahan itu terjadi pergeseran tenaga kerja antarsektor, yaitu dari sektor ekonomi subsistem ke sektor ekonomi renumeratif. Setelah kembali mapan, pengangguran akan cenderung rendah kembali. Proses industrialisasi tidak hanya terjadi pada suatu titik waktu akan tetapi merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Pergeseran ekonomi dalam proses industrialisasi tidak hanya berlangsung dari pertanian ke industri tetapi juga terus terjadi dari industri berteknologi rendah ke teknologi, dan selanjutnya menuju industri yang berbasis informasi dan intelektualitas. Pada tahap ini, lanjutnya, perubahan itu terus berlangsung dari waktu ke waktu yang mengakibatkan tenaga kerja harus terus-menerus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan teknologi. Akibatnya pengangguran merupakan suatu kondisi normal di negara-negara maju yang teknologinya terus berubah. Masalah pengangguran terdidik di Indonesia, tuturnya, sudah mulai mencuat sejak sekitar tahun 1980-an saat Indonesia mulai memasuki era industri. Pada tahun 1970-an pemerintah melakukan investasi besar-besaran pada sektor-sektor yang berkaitan dengan kebutuhan dasar, seperti pertanian dan pendidikan dasar. Memasuki dasawarsa 1980-an, output pendidikan SD dalam jumlah besar telah mendorong pertumbuhan besar-besaran pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Namun masalah pendidikan menjadi dilematis, di satu sisi pendidikan dianggap sangat lambat mengubah struktur angkatan kerja terdidik karena angkatan kerja lulusan pendidikan tinggi baru 3,05 persen dari angkatan kerja nasional. Namun di sisi lain, pendidikan juga dipersalahkan karena mengeluarkan lulusan pendidikan tinggi yang terlalu banyak sehingga menjadi penganggur. Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang munculsecara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi. Masalah Pengangguran dan Inflasi Setelah dalam sepuluh tahun terakhir laju inflasi nasional mampu dipertahankan di bawah angka sepuluh persen, namun pada tahun 1997 laju inflasi akhirnya menembus angka dua digit, yaitu 11,05 persen. Laju inflasi tahun 1997 itu jauh lebih tinggi jika dibandingkan inflasi 1996 yang 6,47 persen. Hal itu terjadi, di samping karena kemarau panjang, antara lain juga akibat krisis moneter yang akhirnya melebar jadi krisis ekonomi. Inflasi bulan Desember 1997 saja tercatat 2,04 persen. Dengan angka inflasi 11,05 persen, sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki angka inflasi tertinggi di ASEAN, setidaknya dalam tiga tahun terakhir ini. Tingginya angka inflasi karena tidak seimbangnya antara permintaan dan penawaran barang dan jasa. Ini membuktikan tingginya laju inflasi di negara kita lebih banyak dipengaruhi sektor riil, bukan sektor moneter. Jika kita mengambil kesimpulan mengenai masalah inflasi di Indonesia bahwa ternyata laju inflasi tidak semata ditentukan faktor moneter, tapi juga faktor fisik. Ada empat faktor yang menentukan tingkat inflasi. Pertama, uang yang beredar baik uang tunai maupun giro. Kedua, perbandingan antara sektor moneter dan fisik barang yang tersedia. Ketiga, tingkat suku bunga bank juga ikut mempengaruhi laju inflasi. Suku bunga di Indonesia termasuk lebih tinggi dibandingkan negara di kawasan Asia. Keempat, tingkat inflasi ditentukan faktor fisik prasarana. Melonjaknya inflasipun karena dipicu oleh kebijakan pemerintah yang menarik subisidi sehingga harga listrik dan BBM meningkat. Kenaikan BBM ini telah menggenjot tingkat inflasi bulan Juni 2001 menjadi 1,67 persen.
Dampak ini masih terasa sampai bulan Juli 2001 yang akan memberikan sumbangan inflasi antara 0,3-1 persen. Efek domino yang ditimbulkan pun masih menjadi pemicu kenaikan harga lainnya. Diperkirakan inflasi tahun ini
tembus dua digit. Kebijakan kenaikan harga BBM per 15 Juni 2001, menjadi pemicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Kenaikan BBM tersebut cukup memberatkan masyarakat lapisan bawah karena dapat menimbulkan multiplier effect, mendorong kenaikan harga jenis barang lainnya yang dalam proses produksi maupun distribusinya menggunakan BBM. Tingginya angka inflasi selanjutnya akan menurunkan daya beli masyarakat. Untuk bisa bertahan pada tingkat daya beli seperti sebelumnya, para pekerja harus mendapatkan gaji paling tidak sebesar tingkat inflasi. Kalau tidak, rakyat tidak lagi mampu membeli barang-barang yang diproduksi. Jika barang-barang yang diproduksi tidak ada yang membeli maka akan banyak perusahaan yang berkurang keuntungannya. Jika keuntungan perusahaan berkurang maka perusahaan akan berusaha untuk mereduksi cost sebagai konsekuensi atas berkurangnya keuntungan perusahaan. Hal inilah yang akan mendorong perusahaan untuk mengurangi jumlah pekerja/buruhnya dengan mem-PHK para buruh. Salah satu dari jalan keluar dari krisis ini adalah menstabilkan rupiah. Membaiknya nilai tukar rupiah tidak hanya tergantung kepada money suplly dari IMF, tetapi juga investor asing (global investment society) mengalirkan modalnya masuk ke Indonesia (capital inflow). Karena hal inilah maka pengendalian laju inflasi adalah penting dalam rangka mengendalikan penangguran.
Dalam indikator ekonomi makro ada tiga hal terutama yang menjadi pokok
permasalahan ekonomi makro. Pertama adalah masalah pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi dapat dikategorikan baik jika angka pertumbuhan positif
dan bukannya negatif. Kedua adalah masalah inflasi. Inflasi adalah indikator
pergerakan harga-harga barang dan jasa secara umum, yang secara bersamaan
juga berkaitan dengan kemampuan daya beli. Inflasi mencerminkan stabilitas
harga, semakin rendah nilai suatu inflasi berarti semakin besar adanya kecenderungan ke arah stabilitas harga. Namun masalah inflasi tidak hanya berkaitan dengan melonjaknya harga suatu barang dan jasa. Inflasi juga sangat berkaitan dengan purchasing power atau daya beli dari masyarakat. Sedangkan daya beli masyarakat sangat bergantung kepada upah riil. Inflasi sebenarnya tidak terlalu bermasalah jika kenaikan harga dibarengi dengan kenaikan upah riil. Masalah ketiga adalah pengangguran. Memang masalah pengangguran telah menjadi momok yang begitu menakutkan khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Negara berkembang seringkali dihadapkan dengan besarnya angka pengangguran karena sempitnya lapangan pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk. Sempitnya lapangan pekerjaan dikarenakan karena faktor kelangkaan modal untuk berinvestasi. Masalah pengangguran itu sendiri tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang namun juga dialami oleh negara-negara maju. Namun masalah pengangguran di negara-negara maju jauh lebih mudah terselesaikan daripada di negara-negara berkembang karena hanya berkaitan dengan pasang surutnya business cycle dan bukannya karena faktor kelangkaan investasi, masalah ledakan penduduk, ataupun masalah sosial politik di negara tersebut. Melalui artikel inilah
saya mencoba untuk mengangkat masalah pengangguran dengan segala dampaknya di Indonesia yang menurut pengamatan saya sudah semakin memprihatinkan terutama ketika negara kita terkena imbas dari krisis ekonomi sejak tahun 1997 . Apa itu pengangguran? Pengangguran adalah suatu kondisi di mana orang tidak dapat bekerja, karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan. Ada berbagai macam tipe pengangguran, misalnya pengangguran teknologis, pengangguran friksional dan pengangguran struktural. Tingginya angka pengangguran, masalah ledakan penduduk, distribusi pendapatan yang tidak merata, dan berbagai permasalahan lainnya di negara kita menjadi salah satu faktor utama rendahnya taraf hidup para penduduk di negara kita. Namun yang menjadi manifestasi utama sekaligus faktor penyebab rendahnya taraf hidup di negara-negara berkembang adalah terbatasnya penyerapan sumber daya, termasuk sumber daya manusia. Jika dibandingkan dengan negara-negara maju, pemanfaatan sumber daya yang dilakukan oleh negara-negara berkembang relatif lebih rendah daripada yang dilakukan di negara-negara maju karena buruknya efisiensi dan efektivitas dari penggunaan sumber daya baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Dua penyebab utama dari rendahnya pemanfaatan sumber daya manusia adalah karena tingkat pengangguran penuh dan tingkat pengangguran terselubung yang terlalu tinggi dan terus melonjak. Pengangguran penuh atau terbuka yakni terdiri dari orang-orang yang sebenarnya mampu dan ingin bekerja, akan tetapi tidak mendapatkan lapangan pekerjaan sama sekali. Berdasarkan data dari Depnaker pada tahun 1997 jumlah pengangguran terbuka saja sudah mencapai sekitar 10% dari sekitar 90 juta angkatan kerja yang ada di Indonesia, dan jumlah inipun belum mencakup
pengangguran terselubung. Jika persentase pengangguran total dengan melibatkan jumlah pengangguran terselubung dan terbuka hendak dilihat angkanya, maka angkanya sudah mencapai 40% dari 90 juta angkatan kerja yang berarti jumlah penganggur mencapai sekitar 36 juta orang. Adapun pengangguran terselubung adalah orang-orang yang menganggur karena bekerja di bawah kapasitas optimalnya. Para penganggur terselubung ini adalah orang-orang yang bekerja di bawah 35 jam dalam satu minggunya. Jika kita berasumsi bahwa krisis ekonomi hingga saat ini belum juga bisa terselesaikan maka angka-angka tadi dipastikan akan lebih melonjak. Ledakan Pengangguran Akibat krisis finansial yang memporak-porandakan perkonomian nasional, banyak para pengusaha yang bangkrut karena dililit hutang bank atau hutang ke rekan bisnis. Begitu banyak pekerja atau buruh pabrik yang terpaksa di-PHK oleh perusahaan di mana tempat ia bekerja dalam rangka pengurangan besarnya cost yang dipakai untuk membayar gaji para pekerjanya. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya ledakan pengangguran yakni pelonjakan angka pengangguran dalam waktu yang relatif singkat. Awal ledakan pengangguran sebenarnya bisa diketahui sejak sekitar tahun 1997 akhir atau 1998 awal. Ketika terjadi krisis moneter yang hebat melanda Asia khususnya Asia Tenggara mendorong terciptanya likuiditas ketat sebagai reaksi terhadap gejolak moneter. Di Indonesia, kebijakan likuidasi atas 16 bank akhir November 1997 saja sudah bisa membuat sekitar 8000 karyawannya menganggur. Dan dalam selang waktu yang tidak relatif lama, 7.196 pekerja dari 10 perusahaan sudah di PHK dari pabrik-pabrik mereka di Jawa Barat, Jakarta, Yogyakarta, dan Sumatera Selatan berdasarkan data pada akhir Desember 1997. Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap sekitar 1,3 juta orang dari tambahan angkatan kerja sekitar 2,7 juta orang. Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran jadinya akan melampaui 10 juta orang. Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada data-data pada tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah memadai, seharusnya pertumbuhan ekonomi yang ideal bagi negara berkembang macam Indonesia adalah di atas 6%. Berdasarkan data sepanjang di tahun 1996, perekonomian hanya mampu menyerap 85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang. Tahun 1996 perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah relatif besar karena ekonomi nasional tumbuh hingga 7,98 persen. Tahun 1997 dan 1998, pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan tidak secerah tahun 1996. Pada tahun 1998 krisis ekonomi bertambah parah karena banyak wilayah Indonesia yang diterpa musim kering, inflasi yang terjadi di banyak daerah, krisis moneter di dalam negeri maupun di negara-negara mitra dagang seperti sesama ASEAN, Korsel dan Jepang akan sangat berpengaruh. Jika kita masih berpatokan dengan asumsi keadaan di atas, maka ledakan pengangguran diperkirakan akan berlangsung terus sepanjang tahun-tahun ke depan. Memang ketika kita menginjak tahun 2000, jumlah pengangguran di tahun 2000 ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapat sekitar 35,97 juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran saat ini yaitu pada tahu 2001 mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan ekonomi tidak segera berjalan dengan baik. Karena hal inilah maka pemerintah perlu berusaha semaksimal mungkin untuk mencari investor asing guna menanamkan modalnya di sini sehingga lapangan pekerjaan baru dapat tercipta untuk dapat menyerap sebanyak mungkin tenaga kerja. Berdasarkan perhitungan maka pada saat ini perekonomian negara kita memerlukan pertumbuhan ekonomi minimal 6 persen, meski idealnya diatas 6 persen, sehingga bisa menampung paling tidak 2,4 juta angkatan kerja baru. Sebab dari satu persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap sektiar 400 ribu angkatan kerja. Ini juga ditambah dengan peluang kerja di luar negeri yang rata-rata bisa menampung 500 ribu angkatan kerja setiap tahunnya. Untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang pesat maka mau tidak mau negara kita terpaksa harus menarik investasi asing karena sangatlah sulit untuk mengharapkan banyak dari investasi dalam negeri mengingat justru di dalam negeri para pengusaha besar banyak yang berhutang ke luar negeri. Hal ini bertambah parah karena hutang para pengusaha (sektor swasta) dan pemerintah dalam bentuk dolar. Sementara pada saat ini nilai tukar rupiah begitu rendah (undervalue) terhadap dolar. Namun menarik para investor asingpun bukan merupakan pekerjaan yang mudah jika kita berkaca pada situasi dan kondisi sekarang ini. Suhu politik yang semakin memanas, kerawanan sosial, teror bom, faktor desintegrasi bangsa, dan berbagai masalah lainnya akan membuat para investor asing enggan untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Karena itulah maka situasi dan kondisi yang kondusif haruslah diupayakan dan dipertahankan guna menarik investor asing masuk kemari dan menjaga agar para investor asing yang sudah menanamkan modalnya asing tidak lagi menarik modalnya ke luar yang nantinya akan berakibat capital outflow. Masalah Pengangguran dan Krisis Sosial Jika masalah pengangguran yang demikian pelik dibiarkan berlarut-larut maka sangat besar kemungkinannya untuk mendorong suatu krisis sosial. Suatu krisis sosial ditandai dengan meningkatnya angka kriminalitas, tingginya angka kenakalan remaja, melonjaknya jumlah anak jalanan atau preman, dan besarnya kemungkinan untuk terjadi berbagai kekerasan sosial yang senantiasa menghantui masyarakat kita. Bagi banyak orang, mendapatkan sebuah pekerjaan seperti mendapatkan harga diri.Kehilangan pekerjaan bisa dianggap kehilangan harga diri. Walaupun bukan pilihan semua orang, di zaman serba susah begini pengangguran dapat dianggap sebagai nasib. Seseorang bisa saja diputus hubungan kerja karena perusahaannya bangkrut. Padahal di masyarakat, jutaan penganggur juga antri menanti tenaganya dimanfaatkan. Besarnya jumlah pengangguran di Indonesia lambat-laun akan menimbulkan banyak masalah sosial yang nantinya akan menjadi suatu krisis sosial, karena banyak orang yang frustasi menghadapi nasibnya. Pengangguran yang terjadi tidak saja menimpa para pencari kerja yang baru lulus sekolah, melainkan juga menimpa orangtua yang kehilangan pekerjaan karena kantor dan pabriknya tutup. Indikator masalah sosial bisa dilihat dari begitu banyaknya anak-anak yang mulai turun ke jalan. Mereka menjadi pengamen, pedagang asongan maupun pelaku tindak kriminalitas. Mereka adalah generasi yang kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan maupun pembinaan yang baik. Salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran di negara kita adalah terlampau banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di sektor informal. Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan kerja, entah sebagai joki yang menumpang di mobil atau joki payung kalau hujan. Juga para pedagang kaki lima dan tukang becak, bahkan orang demo saja dibayar. Yang menjadi kekhawatiran adalah jika banyak para penganggur yang mencari jalan keluar dengan mencari nafkah yang tidak halal. Banyak dari mereka yang menjadi pencopet, penjaja seks, pencuri, preman, penjual narkoba, dan sebagainya. Bahkan tidak sedikit mereka yang dibayar untuk berbuat rusuh atau anarkis demi kepentingan politik salah satu kelompok tertentu yang masih erat hubungannya dengan para pentolan Orba. Ada juga yang menyertakan diri menjadi anggota laskar jihad yang dikirim ke
Ambon dengan dalih membela agama. Padahal di sana mereka cuma jadi perusuh yang doyan menjarah, memperkosa, dan membunuh orang-orang Maluku yang tidak berdosa. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh pemerintah jika krisis sosial tidak ingin berlanjut terus. Masalah Pengangguran dan Pendidikan
Pengangguran intelektual di Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mendekati titik yang mengkhawatirkan. Diperkirakan angka pengangguran intelektual yang pada tahun 1995 mencapai 12,36 persen, pada tahun 1995 diperkirakan akan meningkat menjadi 18,55 persen, dan pada tahun 2003 meningkat lagi menjadi 24,5 persen. Pengangguran intelektual ini tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita dimana para tenaga kerja yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar. Meski ada kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun upaya
tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu maka salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Di negara-negara maju, pendidikkan dalam wujud praktek lebih diberikan dalam porsi yang lebih besar. Di sanapun, cara pembelajaran dan pemberian pendidikkan diberikan dalam wujud yang lebih menarik dan kreatif. Di negara kita, saat ini ada kecenderungan bahwa para siswa hanya mempunyai kebiasaan menghafal saja untuk pelajaran-pelajaran yang menyangkut ilmu sosial, bahasa, dan sejarah atau menerima saja berbagai teori namun sayangnya para siswa tidak memiliki kemampuan untuk menggali wawasan pandangan yang lebih luas serta cerdas dalam memahamidan mengkaji suatu masalah. Sedangkan untuk ilmu pengetahuan alam para siswa cenderung hanya diberikan latihan soal-soal yang cenderung hanya melatih kecepatan dalam berpikir untuk menemukan jawaban dan bukannya mempertajam penalaran atau melatih kreativitas dalam berpikir. Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika bukan karena kecerdikan dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian dalam membuat jalan perhitungan tetapi karena dia memang sudah hafal tipe soalnya. Seringkali seseorangpun hanya sekedar bisa mengerjakan soalnya dengan menggunakan rumus tetapi tidak tahu asal muasal rumus tersebut. Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan jauh dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlampau melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni. Sehingga karena hal inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit bersaing dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan. Jika kita melihat dari sudut pandang ekonomi, pengangguran tenaga kerja terdidik cenderung meningkat pada saat masyarakat mengalami proses modernisasi dan industrialisasi. Dalam proses perubahan itu terjadi pergeseran tenaga kerja antarsektor, yaitu dari sektor ekonomi subsistem ke sektor ekonomi renumeratif. Setelah kembali mapan, pengangguran akan cenderung rendah kembali. Proses industrialisasi tidak hanya terjadi pada suatu titik waktu akan tetapi merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Pergeseran ekonomi dalam proses industrialisasi tidak hanya berlangsung dari pertanian ke industri tetapi juga terus terjadi dari industri berteknologi rendah ke teknologi, dan selanjutnya menuju industri yang berbasis informasi dan intelektualitas. Pada tahap ini, lanjutnya, perubahan itu terus berlangsung dari waktu ke waktu yang mengakibatkan tenaga kerja harus terus-menerus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan teknologi. Akibatnya pengangguran merupakan suatu kondisi normal di negara-negara maju yang teknologinya terus berubah. Masalah pengangguran terdidik di Indonesia, tuturnya, sudah mulai mencuat sejak sekitar tahun 1980-an saat Indonesia mulai memasuki era industri. Pada tahun 1970-an pemerintah melakukan investasi besar-besaran pada sektor-sektor yang berkaitan dengan kebutuhan dasar, seperti pertanian dan pendidikan dasar. Memasuki dasawarsa 1980-an, output pendidikan SD dalam jumlah besar telah mendorong pertumbuhan besar-besaran pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Namun masalah pendidikan menjadi dilematis, di satu sisi pendidikan dianggap sangat lambat mengubah struktur angkatan kerja terdidik karena angkatan kerja lulusan pendidikan tinggi baru 3,05 persen dari angkatan kerja nasional. Namun di sisi lain, pendidikan juga dipersalahkan karena mengeluarkan lulusan pendidikan tinggi yang terlalu banyak sehingga menjadi penganggur. Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang munculsecara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi. Masalah Pengangguran dan Inflasi Setelah dalam sepuluh tahun terakhir laju inflasi nasional mampu dipertahankan di bawah angka sepuluh persen, namun pada tahun 1997 laju inflasi akhirnya menembus angka dua digit, yaitu 11,05 persen. Laju inflasi tahun 1997 itu jauh lebih tinggi jika dibandingkan inflasi 1996 yang 6,47 persen. Hal itu terjadi, di samping karena kemarau panjang, antara lain juga akibat krisis moneter yang akhirnya melebar jadi krisis ekonomi. Inflasi bulan Desember 1997 saja tercatat 2,04 persen. Dengan angka inflasi 11,05 persen, sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki angka inflasi tertinggi di ASEAN, setidaknya dalam tiga tahun terakhir ini. Tingginya angka inflasi karena tidak seimbangnya antara permintaan dan penawaran barang dan jasa. Ini membuktikan tingginya laju inflasi di negara kita lebih banyak dipengaruhi sektor riil, bukan sektor moneter. Jika kita mengambil kesimpulan mengenai masalah inflasi di Indonesia bahwa ternyata laju inflasi tidak semata ditentukan faktor moneter, tapi juga faktor fisik. Ada empat faktor yang menentukan tingkat inflasi. Pertama, uang yang beredar baik uang tunai maupun giro. Kedua, perbandingan antara sektor moneter dan fisik barang yang tersedia. Ketiga, tingkat suku bunga bank juga ikut mempengaruhi laju inflasi. Suku bunga di Indonesia termasuk lebih tinggi dibandingkan negara di kawasan Asia. Keempat, tingkat inflasi ditentukan faktor fisik prasarana. Melonjaknya inflasipun karena dipicu oleh kebijakan pemerintah yang menarik subisidi sehingga harga listrik dan BBM meningkat. Kenaikan BBM ini telah menggenjot tingkat inflasi bulan Juni 2001 menjadi 1,67 persen.
Dampak ini masih terasa sampai bulan Juli 2001 yang akan memberikan sumbangan inflasi antara 0,3-1 persen. Efek domino yang ditimbulkan pun masih menjadi pemicu kenaikan harga lainnya. Diperkirakan inflasi tahun ini
tembus dua digit. Kebijakan kenaikan harga BBM per 15 Juni 2001, menjadi pemicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Kenaikan BBM tersebut cukup memberatkan masyarakat lapisan bawah karena dapat menimbulkan multiplier effect, mendorong kenaikan harga jenis barang lainnya yang dalam proses produksi maupun distribusinya menggunakan BBM. Tingginya angka inflasi selanjutnya akan menurunkan daya beli masyarakat. Untuk bisa bertahan pada tingkat daya beli seperti sebelumnya, para pekerja harus mendapatkan gaji paling tidak sebesar tingkat inflasi. Kalau tidak, rakyat tidak lagi mampu membeli barang-barang yang diproduksi. Jika barang-barang yang diproduksi tidak ada yang membeli maka akan banyak perusahaan yang berkurang keuntungannya. Jika keuntungan perusahaan berkurang maka perusahaan akan berusaha untuk mereduksi cost sebagai konsekuensi atas berkurangnya keuntungan perusahaan. Hal inilah yang akan mendorong perusahaan untuk mengurangi jumlah pekerja/buruhnya dengan mem-PHK para buruh. Salah satu dari jalan keluar dari krisis ini adalah menstabilkan rupiah. Membaiknya nilai tukar rupiah tidak hanya tergantung kepada money suplly dari IMF, tetapi juga investor asing (global investment society) mengalirkan modalnya masuk ke Indonesia (capital inflow). Karena hal inilah maka pengendalian laju inflasi adalah penting dalam rangka mengendalikan penangguran.
3. Masalah Sosial Pendidikan :
Dari satu siaran press Institut Pertanian Bogor (IPB) yang saya baca waktu itu, Profesor Maman Djauhari (dosen Mathematika, Intitut Teknologi Bandung) mengatakan
dalam salah satu konferensi internasional di IPB bahwa dari sekitar
2500 perguruan tinggi di Indonesia hanya ada 8 perguruan tinggi yang
memiliki Jurusan atau Departemen Statistika. Wouw, kurang dari satu
persen. Mungkinkah ini salah satu penyebab lemahnya penelitian di
Indonesia?
Sebenarnya
apa sih yang terjadi, dan mengapa sampai jurusan statistika kurang
diminati? Bagaimana dampak kekurangan minat pada bidang statistik ini
dalam kehidupan masyarakat? Semua itu muncul dalam benak saya sehabis
membaca informasi dalam siaran press itu.
Teringat
pada waktu kuliah dulu, ada seorang mahasiswa yang tidak naik kelas di
tahun kedua. Orang tua sang mahasiswa menulis surat ke Rektor IPB yang
dibacakan oleh beliau di depan kelas. Surat itu pada dasarnya
mempertanyakan mengenai anaknya. Katanya anak saya itu pandai, kenapa
dia tidak naik kelas? Kan “Statistik kerjanya hanya menghitung angka,
masak anak saya nggak mampu berhitung”. Masalah ini ditanggapi cukup
serius waktu itu, karena untuk meluruskan pandangan orang tentang
Statistik.
Sudah
bukan rahasia lagi bahwa pelajaran Statistik adalah momok bagi
mahasiswa. Tidak hanya di Indonesia di Amerika pun sama saja, sehingga
banyak yang menghindar untuk mengambil matakuliah Statistik kalau
memungkinkan. Hal ini bukan karena tingkat kesulitan dari mata
pelajaran Statistik itu sendiri tetapi “image” yang berkembang sebelumnya sudah menakutkan. Pada waktu saya mengambil matakuliah Statistics Theory, waktu pelajaran kepala 4000 an (untuk Undergraduate Senior, dan Master)
masih sekitar 15 orang per kelas mahasiswanya. Kelas 5000 an (untuk
Master dan PhD) turun menjadi sekitar 10, dan kelas 6000 an (khusus
untuk PhD) hanya tinggal 3 orang. Siapa yang mau mengambil kelas yang
isinya hanya tiga orang, belum lagi kalau dosennya galak? Tentunya
kelas ini diambil hanya karena diwajibkan. Untuk kelas-kelas Statistik
Terapan jumlah mahasiswanya memang sangat bervariasi karena ada semacam
keharusan bagi mahasiswa PhD Program di hampir semua jurusan
untuk mengambil kelas Statistik Terapan. Kelas-kelas teori biasanya
didominasi oleh mahasiswa yang berasal dari Asia. Terlihat sekali memang
kalau orang-orang Amerika sendiri agak kurang berminat pada jurusan
ini. Jangan tanya bagaimana saya bisa menarik inference seperti ini karena saya tidak bisa membuktikannya secara empirik.
Ilmu
Statistik itu muncul sebenarnya karena kita semua punya keterbatasan.
Keterbatasan dalam arti waktu, biaya, sumber daya manusia dll. Selain
itu kalaupun kita tidak mempunyai keterbatasan dan bisa melakukan
sensus, ada populasi tertentu yang hampir tidak mungkin kita hitung
rata-ratanya. Contohnya, bagaimana kita menghitung rata-rata usia orang
Indonesia secara tepat. Setiap menit ada yang lahir dan ada yang
meninggal, setiap hari ada yang keluar dan ada yang masuk ke Indonesia,
ada pula yang tidak mau dirinya dihitung dst. Jadi hampir tidak mungkin
kita bisa menghitung rata-rata usia orang Indonesia secara tepat.
Disinilah perlunya statistik. Istilah-istilah seperti sample, survey, standard error misalnya, semuanya memperlihatkan bagaimana dengan keterbatasan yang ada kita bisa melakukan inferenceinference
yang tepat pula. Bagaimana memilih alat ini adalah suatu seni. yang
mendekati kebenaran. Jadi kalau dilihat statistik adalah suatu alat yang
kalau digunakan untuk situasi yang tepat akan menghasilkan
Mungkin
ada contoh menarik yang sangat popular di sini, sewaktu ada mahasisiwa
yang mau meneliti mengenai kebiasaan minum minuman keras dari kalangan
mahasiswa secara umum. Mahasiswa tersebut lalu mengambil samplenya di pintu library kampus Community College di malam hari. Dia mengambil sample setiap orang yang keluar dari library pada malam itu. Hasilnya bisa di duga akan sangat bias karena sample yang diambil hanya dari pengunjung Community College Library, tidak memasukkan mahasiswa dari regular 4 years College.
Karena penelitian dilakukan di malam hari, kemungkinan besar
mahasiswanya berusia lebih tua dari rata-rata mahasiswa regular dan
biasanya sudah mempunyai pekerjaan tetap. Dan yang paling penting
secara umum mahasiswa yang ke library pada malam hari kecil
kemungkinannya adalah juga peminum yang kuat. Jadi bisa diduga
kesimpulan dari survey ini sangat bias karena sample yang diambil tidak
representatif.
Kelemahan
di bidang penelitian di Indonesia terlihat pada saat pemerintah ribut
masalah penemuan padi yang sekali tanam bisa panen tiga kali. Biasanya
setelah panen sawah dibersihkan, diolah lagi dan untuk musim tanam
berikutnya ditanam bibit yang baru. Dalam hal padi yang di temukan ini
setelah panen, sawah dibiarkan sehingga bibit baru tumbuh dari bekas
panen sebelumnya. Tujuannya agar petani tidak perlu membeli bibit lagi.
Sebelum di lempar ke masyarakat harusnya pemerintah tahu kalau sifat
penelitian seperti itu adalah repeatable, dalam arti kalau
diulang dalam kondisi yang sama akan mengeluarkan hasil yang sama.
Ternyata setelah dipasarkan, ditanam oleh petani didaerah lain gagal
menghasilkan hasil yang sama dengan yang dijanjikan. Terlihat bahwa
pemerintah tidak terlalu perduli dengan statistik. Jika perduli tentunya
sebelum benih dari padi ini dilempar ke masyarakat, mereka akan
melakukan penelitian kembali dengan kondisi yang berbeda, lokasi yang
berbeda dst. Dan apakah akan memberikan hasil yang sama? Untuk hal ini
alangkah baiknya melibatkan orang yang mengetahui lebih dalam tentang experimental design sehingga design penelitiannya lebih baik dan hasilnya lebih meyakinkan.
Banyak
yang bisa dilakukan kalau kita familiar dengan statistik. Yang paling
penting adalah kita bisa menjadi lebih berhati-hati kalau membaca
kesimpulan dari suatu penelitian. Misalnya pada waktu UUP akan di
undangkan, ada salah satu badan yang mengadakan jajak pendapat (maaf,
lupa nama badannya). Kesimpulan yang di peroleh adalah sebagian besar
masyarakat Indonesia menyetujui RUUP ini. Begitu membaca, pertanyaan
yang muncul tentunya adalah bagaimana jajak pendapat (opinion polls) ini dilakukan. Lalu apakah sample yang diambil sudah representatif, lalu berapa besar sample-nya
dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan. Coba misalnya kita
ganti lokasi samplenya dengan sample yang berasal dari daerah Bali atau
Papua, apakah kesimpulannya akan tetap sama? Terlihat bahwa betapa
berbahayanya kalau salah menyimpulkan, dan kesimpulan itu digunakan
untuk kebijaksanaan pemerintah. Contoh lain dalam bidang pemasaran yang
pernah saya temui adalah ada perusahaan yang hampir bangkrut karena
kesalahan dalam pengambilan keputusan. Hasil survey yang
diperoleh perusahaan itu mengatakan kalau permintaan bahan bangunan
tertentu sedang tinggi. Perusahaan tersebut lalu mengimpor bahan-bahan
bangunan tersebut sebanyak-banyaknya, yang ternyata tidak laku terjual.
Ternyata survey tersebut tidak valid sehingga kesimpulannya salah.
Ini
sekedar beberapa contoh, yang mengungkapkan minat dan pengamatan saya
pada bidang kesukaan saya ini. Semakin saya mengutak-atik terutama
aplikasinya, terasa Statistik semakin menarik. Mudah-mudahan suatu saat
statistik tidak lagi merana karena selalu dilihat sebagai sesuatu yang
menakutkan, dan besar harapan saya, semoga pengambilan keputusan baik di
perusahaan maupun pemerintahan akan semakin baik dengan penguasaan
statistik yang memadai.